PERAN KEPUASAN SEBAGAI MEDIATOR ANTARA CITRA ORGANISASI DENGAN LOYALITAS WISATAWAN
Sri Raharso
Jurusan Administrasi Niaga – Politeknik Negeri Bandung
Sejak kita masih kecil, kita pasti mengenal perumpamaan bahwa Indonesia merupakan merupakan jamrud khatulistiwa. Indonesia memiliki kekayaan flora maupun fauna yang luar biasa. Indonesia memiliki puluhan ribu pulau. Indonesia memiliki pantai yang paling panjang didunia. Demikian pula dengan masyarakatnya, terdiri dari bemacam-macam suku bangsa.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Indonesia menjadi sebuah “tontonan” yang sangat menarik hati. Setiap tahun, berjuta-juta wisatawan manca negara menikmati keindahan Indonesia. Mengagumi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa.
Akan tetapi begitu di media massa dikabarkan bahwa di Indonesia sedang terjadi banyak kekacauan (demonstrasi dan amuk massa) maka sejumlah wisatawan langsung membatalkan rencana kunjungan ke Indonesia. Faktanya, kekacauan tersebut sebenarnya hanya bersifat parsial. Tidak seluruh wilayah Indonesia mengalami huru-hara tersebut. Demikian pula ketika bom meledak di Pulau Bali. Banyak wisatawan yang tidak berani mengunjungi Indonesia. Semua fakta tentang keindahan Indonesia seakan-akan lenyap begitu saja. Keindahan tersebut menguap tanpa bekas begitu wisatawan memiliki citra bahwa Indonesia merupakan tempat tujuan wisata yang tidak aman.
Industri pariwisata memang merupakan industri yang sangat sensitif terhadap isu-isu eksternal. Adanya perang Irak, bom Bali, atau sindrom pernafasan akut parah (SARS), atau flu burung dengan mudah menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Citra bahwa Indonesia adalah tempat tujuan wisata yang tidak aman membuat wisatawan enggan berkunjung (Kompas, 2003).
Dengan demikian citra memainkan peran yang signifikan dalam industri pariwisata.
Citra (Image)
Konsumen membeli tidak dalam suasana hampa. Artinya, setiap keputusan konsumen untuk mengadopsi suatu produk pasti dilandasi oleh alasan tertentu. Pasti memiliki alasan tertentu, walaupun alasan yang sangat sederhana sekalipun.
Konsumen akan membeli produk dari perusahaan yang menawarkan customer delivered value yang tertinggi. Menurut Kotler (2000: 34) customer delivered value adalah selisih antara total customer value dengan total customer cost. Sedangkan total customer value itu sendiri adalah satu berkas (bundle) benefits yang diharapkan konsumen dari suatu produk. Sebaliknya, total customer cost adalah satu berkas costs yang dikorbankan konsumen untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, dan membuang (disposing) suatu produk.
Sumber dari total customer value adalah produk itu sendiri, services, personnel, serta image (Kotler, 2000: 35). Dengan demikian citra (image) perusahaan memegang peran dalam pembuatan keputusan untuk mengadopsi/tidak mengadopsi suatu produk. Citra dalam bahasa Ecclesiastes dikatakan sebagai “ … tidak pernah menyembunyikan kebenaran – sebaliknya kebenaran itu sendiri yang menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada” (Kompas 30/09/2001). Sebab citra adalah “The promise offered by the organisation to the outside world must match reality” (Symthe, Dorward, & Reback, 1992: 6). Artinya, apabila terjadi wan prestasi terhadap janji tersebut, maka konsumen akan merespon secara negatif pula. Sebab konsumen bertindak berdasarkan persepsi mereka akan sebuah situasi, bukan berdasar realitas itu sendiri (Mill, 2000: 325; Kotler, 2000: 553).
Citra perusahaan yang positif tentunya akan memperkuat keputusan konsumen untuk mengadopsi suatu produk dan sebaliknya. Sebab citra merupakan manifestasi dari pengalaman dan harapan, sehingga citra mampu mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu produk (Zeithaml & Bitner, 1996). Misalnya: hotel Hilton International selalu menampilkan hotelnya sebagai “ hotel Amerika”, tanpa melihat lokasi hotel tersebut. Akibatnya, wisatawan Amerika selalu yakin bahwa kalau dia menginap di Hilton Bali (misalnya), maka dia akan memperoleh pelayanan berstandar Amerika dan tetap merasa seperti “di rumah sendiri”(Wahab, 1997:332).
Sebaliknya, citra negatif membuat konsumen tidak akan membeli suatu jasa. Misalnya, citra Indonesia sebagai daerah yang penuh dengan kerusuhan, akan membuat wisatawan enggan berkunjung ke Indonesia. Kalaupun mereka sudah memesannya, mereka akan membatalkannya Akibatnya target kunjungan wisata asing akan sulit tercapai (Kompas, 8/02/2002, h. 14).
Citra sendiri didefinisikan sebagai “ The set of beliefs, ideas, and impressions a persons holds regarding an object. People’s attitudes and actions toward an object are highly conditioned by that object’s image” (Kotler, 2000: 553). Davidoff & Davidoff (1994) menyatakan citra sebagai “gambaran mental konsumen terhadap perusahaan atau produk”. Malhotra (1999: 89) mendefinisikan citra sebagai “persepsi konsumen terhadap perusahaan dan produk-produknya”. Namun. selain perusahaan dan produknya, obyek suatu citra juga dibangun oleh saling interaksi antara konsumen dengan staf perusahaan. Akibatnya, akan tercipta hubungan pribadi/interpersonal bonds (Macaulay & Cook, 1996: 14).
Grönroos (1990: 170) menyatakan bahwa citra perusahaan yang positif dapat meningkatkan atau menutupi kekurangan pelayanan. Sebaliknya, citra negatif akan memperburuk pelayanan yang dirasakan. Hal tersebut disebabkan citra yang positif akan menjadi “buffer” terhadap pelayanan yang buruk (Zeithaml & Bitner, 1996: 115). Citra positif membuat konsumen menjadi lebih toleran.
Dilihat dari perspektif psikologi komunikasi, citra merupakan jalan pintas secara mental (mental shortcut) untuk mengatasi sifat manusia yang cenderung menjadi cognitive missers. Manusia cenderung kikir dalam menggunakan proses kognitifnya. Sebab, manusia mempunyai keterbatasan mental untuk menghadapi hal-hal yang kompleks (Gazali, 2003).
Citra di Industri Pariwisata
Dalam pemasaran pariwisata, citra adalah segalanya. Ketika konsumen tidak mendapatkan produk seperti yang dia persepsikan (citra konsumen terhadap produk), terjadilan kesuksesan atau kegagalan. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Crompton (dalam Ross, 1998: 113), citra terhadap tempat tujuan wisata merupakan “keseluruhan keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang tentang tempat tujuan wisata tersebut”.
Proses pembentukan citra dalam industri pariwisata menjadi sangat penting, lebih penting dari industri lainnya, sebab pariwisata merupakan sebuah “amorphous mass of experiences”. Tidak ada kesempatan untuk mengambil sampel produk terlebih dahulu sebelum membelinya. Berbeda dengan semua “consumer goods” yang atributnya berhubungan dengan bentuk fisik produk serta dapat dievaluasi sebelum dibeli. Pariwisata tidaklah demikian Karena tidak mungkin melakukan “pre-test” terhadap produk pariwisata, maka evaluasi terhadap atribut adalah fungsi dari citra tempat tujuan wisata (Gartner, 1996: 487).
Oleh karena itu, dalam dunia pariwisata, citra harus selalu dijaga dan dipelihara (Davidoff & Davidoff, 1994: 100). Demikian pula dengan Witt dan Moutinho (1994: 338) yang menyatakan bahwa citra – bersama-sama dengan: harga, accessibility, destination attractions, serta destination facilities – merupakan komponen dari suatu produk wisata yang penting. Citra terhadap tempat tujuan wisata merupakan faktor yang menentukan (decisive factor) dalam mempengaruhi pilihan tempat berlibur (Seaton & Bennett, 1996: 363).
Tabel 1
CITRA KONSUMEN
Citra Berhadapan dengan Situasi Aktual
CITRA KONSUMEN |
|
POSITIF |
NEGATIF |
||
POSITIF |
1 |
2 |
||
NEGATIF |
3 |
4 |
Sumber: Tourism, The International Business (Mill, 2000: 325)
Apabila tempat tujuan wisata telah ditentukan, maka situasi aktual tempat tujuan wisata akan diperbandingkan dengan citra yang ada pada benak pelanggan. Situasi yang mungkin terjadi bila citra berhadapan dengan realitas-sebenarnya dapat dilihat di Tabel 1.
Kotak pertama, menunjukkan situasi dimana konsumen konsumen mempunyai persepsi yang positif terhadap tempat tujuan wisata, dan ternyata situasi aktual yang ada memang menunjukkan hal tersebut. Akibatnya, citra yang sudah ada pada pengunjung akan diperkuat (reinforced), bahkan akan ditingkatkan apabila perceive service quality melebihi citra pengunjung (Grönroos, 1990: 170).
Sedangkan kotak kedua menunjukkan konsumen memiliki persepsi yang negatif terhadap tempat tujuan wisata, akan tetapi sebenarnya situasi aktual atau realitanya tidak seperti itu. Dengan perkataan lain, tempat tujuan wisata ini berpotensi. Ada permintaan laten. Untuk itu diperlukan usaha untuk membangun citra agar tempat tujuan wisata tersebut dipersepsikan secara positif oleh konsumen. Misalnya, menggunakan media iklan. Bagi pengunjung tempat wisata tersebut, citra yang ada pada pengunjung akan meningkat menjadi lebih-positif terhadap tempat tujuan wisata tersebut. Realita akan menang (Grönroos, 1990: 172).
Sedangkan kotak ketiga dan keempat mengindikasikan adanya masalah pada tempat tujuan wisata tersebut. Kotak ketiga menunjukkan citra konsumen terhadap tempat tujuan wisata positif, tetapi ternyata realitas yang ada tidak seperti itu. Situasi sebenarnya ternyata lebih jelek dari yang dipersepsikan oleh konsumen. Zeithaml dan Bitner (1996: 115) menyatakan bahwa “…, one bad experience will likely no be fatal”. Citra positif dapat menjadi filter/buffer bagi organisasi. Akan tetapi, pengalaman yang jelek berikutnya akan membuat citra positif akan tererosi. Fungsi pelindung tersebut akan hilang. Artinya, konsumen yang datang akan “kapok”, menyesal telah datang ke tempat tujuan wisata tersebut. Sedangkan kotak keempat menunjukkan bahwa tempat tujuan wisata memang benar-benar sudah tidak layak lagi untuk dikunjungi. Konsumen sudah mengetahui hal itu, terbukti mereka memiliki persepsi yang negatif terhadap tempat tujuan wisata tersebut. Konsumen tidak akan datang ke tempat tersebut, atau seperti yang dikatakan oleh Zeithaml & Bitner (1996: 115), kalau konsumen mempunyai citra yang tidak baik terhadap organisasi (dalam hal ini tempat tujuan wisata) mereka akan marah dan kecewa ketika “when things go wrong”. Dibutuhkan “multiple good experiences” untuk memulai merubah semua citra yang buruk.
Kepuasan Konsumen
Menurut Engel, et. al (1995: 224, jilid 2), pembelian suatu produk oleh konsumen merupakan fungsi dari dua faktor, yaitu: niat pembelian dan pengaruh lingkungan dan/atau perbedaan individual. Selanjutnya, perilaku proses–keputusan tidak berhenti begitu konsumen membeli suatu produk (lihat Gambar II – 1). Konsumen akan melakukan evaluasi pascapembelian, yang berbentuk: membandingkan kinerja produk berdasarkan harapan yang dia inginkan.
Hasil evaluasi pascapembelian adalah kepuasan atau ketidakpuasan. Dengan demikian kepuasan dapat didefinisikan sebagai “evaluasi pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan”. Kepuasan tersebut berfungsi untuk mengukuhkan loyalitas konsumen. Sebaliknya, ketidakpuasan akan menyebabkan munculnya keluhan, komunikasi lisan yang negatif, dan upaya untuk menuntut ganti rugi. Artinya, ketidakpuasan adalah hasil dari harapan yang diteguhkan secara negatif (Engel el. al., 1995: 210, jilid 2).
Gambar 1
Model Generik Pengambilan Keputusan Konsumen
Pengenalan Kebutuhan |
Pencarian Informasi |
Evaluasi Alternatif |
|
Evaluasi Pascapembelian |
Sumber: Engel, et.al., 1994, Perilaku Konsumen, Jakarta: Binarupa Aksara., jilid 1; p. 32.
dan Mowen, John C., 1993, Consumer Behavior, New York: Macmillan, p. 378.
Pakar yang lain, misalnya Day menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya/norma kinerja lainnya dengan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah produk tersebut diadopsi. Sedangkan Wilkie mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi dari suatu produk. Sedangkan Mowen merumuskan kepuasan pelanggan sebagai sikap keseluruhan terhadap suatu barang atau jasa setelah akuisisi dan pemakaiannya (dalam Tjiptono & Diana, 1995: 102).
Banyaknya definisi kepuasan pelanggan menandakan bahwa hal tersebut bukanlah masalah yang sederhana. Bahkan dapat dikatakan belum ada satu kesepakatan mengenai konsep kepuasan pelanggan.
Loyalitas Wisatawan/Pelanggan
Menurut Barlow & Maul (2000: 12), loyalitas lebih dari sekedar “attitude dan nice feelings”. Loyalitas merupakan tipikal dari keterlibatan yang lebih banyak terhadap produk. Oleh karena itu loyalitas adalah suatu behavior, berbeda dengan kepuasan yang lebih bersifat “attitude” (Oliver, 1997). Oleh karena itu Oliver menyatakan bahwa loyalitas merupakan empat tahapan behavioral. Dimulai dari loyalitas kognitif, afektif, konatif, dan loyalitas tindakan (Oliver, 1997: 392-394).Walaupun oleh para peneliti lain attitude juga disebut sebagai dimensi loyalitas, akan tetapi kecenderungan terbaru menyatakan aspek behavioral lebih “mendapatkan tempat”.
Menurut Oliver (1997: 392), “Customer loyalty is a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred product/service consistently in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior”. Oleh karena itu, Oliver mengusulkan agar dalam mengukur loyalitas, faktor yang membuat konsumen tertarik pada suatu produk (consumer’s attractions) dan faktor yang membuat konsumen berpindah ke produk lain (consumer’s vulnerabilities to switching) diukur secara bersama-sama.
Mengenai penyebab dari loyalitas, pustaka dalam bidang pemasaran belum secara jelas mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan pelanggan menjadi loyal (Kandampully & Suhartanto, 2000, 347). Akan tetapi faktor kepuasan pelanggan diyakini banyak peneliti sebagai awal dari terciptanya loyalitas pelanggan (Kotler, 2000; Johnson & Gustafsson, 2000;Oliver, 1997; Hesket et.al., 1997; Hill, 1996; Naumann & Giel, 1995; Griffin, 1995)
Selain kepuasan pelanggan, konsensus yang muncul diantara para peneliti dan praktisi menyatakan bahwa kualitas jasa merupakan prasyarat dari loyalitas (Gremler & Brown, 1997 dalam Kandampully & Suhartanto, 2000; Schneideer & Bowen, 1995; Cronin & Taylor, 1992). Demikian pula dengan faktor-faktor ekonomi dan psikologi, keduanya dapat mempengaruhi pelanggan untuk melakukan switching. Prasyarat lainnya, oleh Bhote (1996) dikatakan bahwa citra organisasi akan mempengaruhi antusiasme pelanggan. Antusiasme pelanggan merupakan kombinasi dari loyalitas, value, dan delight.