MENJADI NASABAH BANK SYARIAH:
Aplikasi Theory of Planned Behavior di Kalangan Pengusaha Kecil di Kota Bandung
Sri Raharso, Tintin Suhaeni, & Sholihati Amalia
Abstract
The Islamic banking system is gaining momentum. Many international conventional banks have started to open branches which operate in accordance with the Islamic Shariah principles in some Islamic countries. But, as a state with amount of moslem more than 180 million, existence of Islamic banks still have the character of marginally. Therefore require to check why consumer not chosen Islamic bank as one of the alternative to fulfill their requirement. To detect a behavior, intention represent predecessor factor from behavior. Base on theory of planned behavior, this research try to explore role of attitude, subjektif norm, and perceived behavioral control felt variables by 124 small entrepreneur in Bandung area to intention to join Islamic banks. After passing validity and reliability tests, factor analysis, correlation, and regression, yielded finding that responder have positive attitude to join Islamic banks so that this variable have most dominant influence in influencing intention variable become Islamic banks client. The attitudes of bank customers towards Islamic banks are discussed
Keywords: Islamic bank, theory of planned behavior, small entrepreneur
PENDAHULUAN
Konsep bank syariah mulai muncul sejak tahun 1970 di Mesir. Dalam sidang menteri keuangan Organisasi Konperensi Islam (OKI) tahun 1975 di Jeddah disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam (IDB). Modal awalnya adalah 2 milyar dinar. Misi utama bank tersebut adalah mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi melalui layanan finansial yang sejalan dengan prinsip dan ajaran Islam.
Pada saat ini, sistem perbankan Islam telah mendapatkan momentum di seluruh dunia. Ada 180 bank dan institusi keuangan Islam yang dioperasikan di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika dengan memiliki lebih dari 8.000 cabang, serta bernilai $170 milyar. Popularitas sistem perbankan Islam tidak hanya terbatas pada perbankan Islam saja. Daya tarik sistem perbankan Islam juga mulai memikat institusi perbankan konvensional yang berskala internasional. Contohnya, Citibank telah memiliki cabang di negara lain, seperti Bahrain dan Sudan, yang dioperasikan dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah (Naser et al. 1999).
Untuk Indonesia, bank syariah pertama muncul tahun 1992, sejalan dengan berlakunya UU no. 7 tahun 1992 tentang pendirian dan pelaksanaan jasa perbankan yang dikelola secara syariah (Wibowo, 2003). Akan tetapi, bila dibandingkan dengan negara lain, misal: Malaysia atau Turki (yang sangat sekuler), perkembangan bank syariah di Indonesia agak tersendat-sendat (Rukijo, 1999). Dibandingkan dengan negara barat, yang jumlah penduduk muslimnya sedikit, ternyata di barat perekonomian syariah bisa berkembang dengan pesat (Maulana, 2005). Padahal, Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia; lebih dari 180 juta jiwa. Artinya, jumlah tersebut seharusnya bisa menjadi basis yang kokoh untuk pengembangan bisnis syariah (Darmawan, 2006a). Apakah tidak ada kehendak atau keinginan untuk menjadi nasabah bank syariah? Apakah ada yang kurang dengan bank syariah? Mengapa di negara lain bank syariah bisa berkembang dengan pesat? Mengapa lembaga keuangan syariah bisa tumbuh subur di pusat keuangan dunia, seperti London dan New York (Maulana, 2005), juga di Malaysia (Darmawan, 2006b), tapi tidak di Indonesia?
Mengapa masyarakat lebih menyukai bank konvensional? Bank yang dilandasi oleh praktek ekonomi modern yang cenderung bebas nilai (value free) dan amoral (Muhamad, 2002). Sebaliknya, bank syariah merupakan refleksi dari ekonomi Islam yang sarat dengan ajaran etika Islam dan menawarkan dimensi normatif (das sollen) serta positif (das sein). Selain itu, sistem operasional bank syariah secara alamiah terlindungi dari gejolak moneter dan keuangan global (sebab bebas dari pengaruh indusif suku bunga). Dengan perkataan lain, nasabah dan bank syariah akan lebih kompetitif dalam menghadapi perubahan ekonomi, pasar, dan kebijakan ekonomi/perdagangan dunia (Rukijo, 1999). Selebihnya, secara operasional bank syariah mempunyai prinsip yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yaitu sebagai: agent of trust, agent of development, dan agent of service (Muhamad, 2002).
Dilihat dari sejarahnya, pada awalnya bank syariah memang tidak dilirik. Bahkan oleh pemerintah sekalipun. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi 1997, ternyata bank syariah menunjukkan kemampuannya untuk tetap eksis – walaupun dalam pasar yang terbatas (Rukijo, 1999).
Munculnya UU No. 10 1998 tentang perbankan membuat bank syariah seperti mendapatkan darah baru. Masalah kelebihan likuiditas mulai teratasi oleh instrumen moneter syariah, standar akuntansi, standar audit, dan standar pelaporan telah berhasil disusun oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Selain itu, ketentuan yang mengatur prinsip kehati-hatian (prudent banking) juga sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Terakhir, cabang bank umum konvensional boleh dikonversi menjadi cabang syariah (Rukijo, 1999; Wibowo, 2003).
Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (terutama di Jawa Barat) menyatakan bahwa konsumen cenderung tidak mau menggunakan bank syariah. Mereka yang terbuka terhadap informasi dan memiliki akseptabilitas yang luas cenderung tidak loyal terhadap bank syariah (pindah ke bank lain/berhenti menjadi nasabah bank syariah) atau tidak ingin menjadi nasabah bank syariah (Muhamad, 2002; Maulana & Idris, 2005). Artinya, UU tersebut tetap tidak mampu mempengaruhi masyarakat agar memilih bank syariah. Secara relatif, peran bank syariah tidaklah signifikan, baru 1,3% terhadap perbankan nasional (Setiawati, 2005). Oleh karena itu, pandangan harus dialihkan kepada individu-individu (Sofyan, 2004). Mengapa mereka tidak ingin menjadi nasabah bank syariah? Untuk merespon hal tersebut, maka sudah selayaknya pihak manajemen bank syariah “get closer to their customer” dalam rangka untuk mengembangkan customer base bank syariah (Alfansi & Sargeant, 2000; Sofyan, 2004).
Bank syariah memperlakukan nasabah sebagai mitra, artinya: prinsip relationship sudah dipergunakan oleh bank syariah (Rukijo, 1999). Padahal, pada saat ini masalah “relationship marketing” merupakan trend baru yang ingin diadopsi oleh semua organisasi untuk memperoleh keunggulan kompetitif; keunggulan untuk memperoleh pelanggan yang loyal (Kim et al., 2001). Tidak seperti bank konvensional yang memandang nasabah sebagai “konsumen/pembeli”, nasabah adalah mitra bank syariah.
Jadi, variabel apa yang menyebabkan tidak munculnya niat untuk menjadi nasabah bank syariah?
Oleh karena itu, penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi ‘apakah masyarakat mempunyai niat/keinginan untuk menjadi nasabah bank syariah’ perlu dilakukan. Sebab, seperti dijelaskan di bagian sebelumnya, bank syariah ternyata mempunyai potensi-potensi keunggulan. Secara emosional, bank syariah dekat dengan masyarakat Indonesia yang sebagaian besar beragama Islam. Akan tetapi hal tersebut tidak “dilirik” oleh masyarakat. Mengapa masyarakat berperilaku seperti itu?
MEMPREDIKSI PERILAKU
Untuk memprediksi perilaku – ketika seorang individu tidak memiliki kontrol kemauan diri sendiri secara penuh – Ajzen (1987) mengajukan “theory of planned behavior”. Menurut Ajzen (1988), perilaku seseorang tergantung pada niat berperilaku (behavioral intention) yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control). Variabel sikap dan norma subjektif ada dalam “theory of reasoned action”, sedangkan variabel ketiga muncul dalam “theory of planned behavior” (East, 1997).
Theory of planned behavior merupakan alat yang dapat digunakan untuk memprediksi perilaku individu ketika individu tersebut tidak memiliki kontrol kemauan sendiri secara penuh. Artinya, individu tersebut memiliki halangan/hambatan sehingga perilakunya tidak bisa semaunya sendiri. Misalnya, bisa jadi seorang mahasiswa ingin menjadi seorang wirausahawan, tetapi orang tua mahasiswa tersebut lebih suka anaknya menjadi pegawai negeri; atau masyarakat memandang rendah profesi seorang wirausahawan.
Sikap
Sikap adalah faktor pendahulu dari niat berperilaku. Sifat merupakan suatu perasaan yang bersifat suka/tidak suka terhadap suatu objek/tindakan (Ajzen & Fishbein, 1980). Menurut East (1997), sikap adalah sebuah respon evaluatif terhadap sebuah konsep. Sikap positif terhadap perilaku terjadi bila individu tersebut mempersepsikan bahwa akibat yang dilakukan oleh perilaku tersebut bersifat positif. Sebaliknya, apabila individu memandang bahwa akibat dari suatu perilaku adalah suatu hal yang merugikan/negatif maka sikap negatif akan melekat pada individu tersebut.
Fishbein & Ajzen (dalam Refiana, 2002) berpendapat bahwa sikap seseorang terhadap perilaku tertentu didasarkan pada sekumpulan pasangan keyakinan (belief-evaluation). Sikap merupakan fungsi perilaku, termasuk keyakinan perilaku (behavioral belief) seseorang dan evaluasi terhadap konsekuensinya. Sikap yang dipelajari dari pengalaman-langsung biasanya lebih mampu memprediksi perilaku di masa yang akan datang daripada sikap yang dipelajari dari pengalaman-tidak-langsung (East, 1997).
Oleh karena itu, agar masyarakat Indonesia mau menjadi nasabah bank syariah maka perlu “diatur” agar masyarakat mengenal konsep bank syariah dan merasakan manfaat yang didapat apabila mereka menjadi nasabah bank syariah. Sebab, bank syariah merupakan sebuah institusi yang unggul dalam dua hal. Pertama, konsep ‘bagi hasil’ bank syariah relatif memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan konsep bunga yang dianut oleh bank konvensional. Kedua, karena produk investasi bank syariah terbatas dan harus memberi bagi hasil yang optimal kepada deposan, maka bank syariah harus mampu menyalurkan dana ke sektor riil. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu menyalurkan dananya ke sektor riil, bukan ke instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Artinya, bank syariah lebih kompeten dalam menjalankan fungsi intermediary dibandingkan dengan bank konvensional. Buktinya, financing to deposit ratio (FDR) rata-rata bank syariah mencapai 110%, sementara rata-rata FDR bank nasional hanya 60% (Darmawan, 2006b).
Dengan demikian, karena bank syariah merupakan konsep yang positif maka bisa diharapkan akan munculnya niat untuk menjadi nasabah bank syariah. Artinya, peneliti dapat membangun hipotesis sebagai berikut.
H1: Semakin positif sikap seorang konsumen terhadap bank syariah, maka semakin tinggi niat konsumen tersebut untuk menjadi nasabah bank syariah.
Norma Subjektif
Ajzen dan Fishbein dalam “theory of reasoned action” menyatakan bahwa norma subjektif adalah determinan dari niat/kehendak berperilaku. Norma adalah suatu konvensi sosial yang mengatur kehidupan manusia. Norma subjektif adalah suatu fungsi keyakinan individu dalam hal menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu (Refiana, 2002). Untuk menyetujui/tidak menyetujui suatu perilaku, kondisi tersebut didasari oleh suatu keyakinan yang dinamakan dengan keyakinan normatif. Dengan demikian, faktor lingkungan keluarga (ayah, ibu, saudara) merupakan orang yang dapat mempengaruhi tindakan individu. Seorang individu akan melakukan/berperilaku tertentu apabila persepsi orang lain terhadap perilaku tersebut bersifat positif. Artinya, orang lain mempersepsikan bahwa perilaku individu tersebut diperbolehkan/sebaiknya dilakukan.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi (karena kemajuan teknologi komunikasi), orang lain tersebut mungkin tidak hanya berasal dari lingkungan keluarga, tetapi juga para tokoh/orang-orang penting yang diidolakan oleh konsumen atau yang perkataan/perbuatannya merupakan patron perilaku konsumen. Perilaku tokoh tersebut merupakan cetak biru bagi perilaku konsumen dalam memilih bank syariah sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana yang mereka miliki.
Norma subjektif merupakan persepsi yang bersifat individual tehadap tekanan sosial untuk melakukan/tidak melakukan perilaku tertentu. Norma subjektif dapat ditentukan dan diukur sebagai suatu kumpulan keyakinan normatif mengenai kesetujuan/ketidaksetujuan acuan yang signifikan terhadap suatu perilaku (Refiana, 2002). Jadi, apabila orang-orang yang ada disekitar konsumen memiliki secara normatif bisa menerima kehadiran bank syariah maka konsumen tersebut juga bisa menerima produk-produk bank syariah. Artinyal, peneliti dapat membuat hipotesis sebagai berikut:
H2: Semakin positif norma subjektif seorang konsumen terhadap bank syariah, maka semakin tinggi niat konsumen tersebut untuk menjadi nasabah bank syariah.
Pengendalian Perilaku yang Dirasakan
“Pengendalian perilaku yang dirasakan” merupakan fungsi dari keyakinan pengendalian (control belief) dan pencapaian faktor pengendalian (access to the control factor). Yang termasuk faktor pengendalian adalah: faktor internal (seperti: keahlian, kemampuan, informasi, emosi) dan faktor eksternal (misal: situasi/lingkungan). “pengendalian perilaku yang dirasakan” mengindikasikan bahwa motivasi individu dipengaruhi oleh persepsi seberapa sulit perilaku “A” dapat dilakukan, termasuk didalamnya sampai dimana keberhasilan yang mungkin akan dicapai individu tersebut bila berperilaku “A” (Refiana, 2002). Contoh riilnya: seberapa sulit seorang konsumen untuk menjadi nasabah bank syariah; misal: apakah prosedurnya berbelit-belit atau kantor cabangnya ada di dekat rumah/tempat usaha. Selanjutnya, apabila konsumen tersebut sudah menjadi nasabah bank syariah apakah dia akan memperoleh “nilai tambah” yang lebih banyak apabila dibanding dengan menjadi nasabah bank konvensional?
Seperti yang diasumsikan Fishbein dan Ajzen (dalam Refiana, 2002) individu biasanya cukup rasional dan mampu menggunakan informasi yang mereka miliki secara sistematis. Jadi, apabila individu merasa dia tidak memiliki sumber daya/kesempatan untuk melakukan sesuatu, maka individu tersebut tidak akan melakukan perilaku yang memerlukan sumber daya tersebut (bahkan dalam situasi dimana individu memiliki sikap positif dan norma subyektif yang menyetujui perilaku tersebut). Jadi, syarat utama untuk menjadi nasabah bank syariah adalah adanya surplus dana atau membutuhkan dana untuk menambah modal kerja usahanya. Apakah bank syariah bisa membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan modal?
Studi yang dilakukan Bandura (dalam East, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy (sinonim dengan “pengendalian perilaku yang dirasakan” Ajzen) “concerned with judgements of how well one can execute a course of action required to deal with prospective situations”. “Pengendalian perilaku yang dirasakan” adalah prediktor yang nyata terhadap niat/kehendak berperilaku (East, 1997). Jadi, peneliti dapat membangun hipotesis sebagai berikut.
H3: Semakin positif “pengendalian perilaku yang dirasakan seorang konsumen” terhadap bank syariah, maka semakin tinggi niat konsumen tersebut untuk menjadi nasabah bank syariah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional atau one-shot dengan cara mendistribusikan kuesioner secara acak sederhana kepada 124 pengusaha kecil yang ada di Bandung dan sekitarnya.
Hair et al.(1998) menyatakan bahwa analisis yang menggunakan teknik regresi ganda dan analisis faktor memerlukan minimal 100 responden. Jumlah moderat yang “acceptable” agar data dapat digeneralisasi secara bermakna.
Karena pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, maka kesungguhan responden dalam menjawab pertanyaan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian. Keabsahan hasil penelitian sosial sangat ditentukan oleh alat ukur yang digunakan. Oleh karena itu dibuat dua macam pengujian, uji validitas dan reliabilitas untuk menguji kesungguhan jawaban dari responden. Analisis faktor juga dilakukan terhadap item-item pernyataan yang ada dalam kuesioner untuk mengetahui unidimensionality-nya.
Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan item-item pertanyaan dengan jumlah skor untuk masing-masing variabel. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan terhadap pertanyaan yang sudah valid untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tersebut tetap konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap gejala yang sama.
Setelah data yang didapat dianggap memadai dari segi validitas, reliabilitas, dan unidimensionality, maka langkah selanjutnya adalah: mengolah data dan menganalisis data hasil penelitian berdasarkan struktur model antar variabel penelitian. Untuk itu digunakan teknik regresi ganda untuk memprediksi pengaruh variabel sikap, norma subjektif, dan “pengendalian perilaku yang dirasakan” terhadap variabel niat berperilaku konsumen untuk menjadi nasabah bank syariah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
No.
|
Variabel
|
Kode
|
Item Pernyataan
|
|
1.
|
Sikap
|
S1
|
1. Menurut saya, bunga bank konvensional adalah haram.
|
|
|
|
S2
|
2. Saya yakin, bank syariah dikelola dengan cara yang profesional.
|
|
|
|
S3
|
3. Menjadi nasabah bank syariah adalah ide yang bagus.
|
|
|
|
S4
|
4. Saya senang bisa menjadi nasabah bank syariah.
|
|
|
|
S5
|
5. Sistem bagi hasil di bank syariah (8-10% per tahun), jelas lebih menguntungkan dibanding dengan bunga bank konvensional.
|
|
|
Referensi: George, 2004; Ya-Yueh & Kwoting, 2004; Hidayat, 2006.
|
|
2.
|
Norma Subjektif
|
NS1
NS2
NS3
NS4
|
1. Keluarga saya menjadi nasabah bank syariah.
2. Teman-teman saya menjadi nasabah bank syariah.
3. Para pemuka agama menyarankan umatnya untuk menjadi nasabah bank syariah.
4. Orang-orang penting di sekitar saya menyarankan saya untuk menjadi nasabah bank syariah.
|
|
|
Referensi: George, 2004; Ya-Yueh & Kwoting, 2004.
|
3.
|
“Pengendalian perilaku yang dirasakan”
|
KP1
KP2
KP3
KP4
KP5
|
1. Tidak ada halangan untuk menjadi nasabah bank syariah.
2. Saya memiliki pengetahuan tentang bank syariah.
3. Kalau saya menginginkan, kapa saja saya bisa menjadi nasabah bank syariah.
4. Dengan menjadi nasabah bank syariah, berarti saya telah berpartisipasi dalam memajukan ekonomi syariah.
5. Kantor cabang bank syariah terletak di daerah yang strategis.
6.
|
|
|
Referensi: So & Bolloju, 2005; Ya-Yueh & Kwoting, 2004; Fusilier & Durlabhji, 2005; Dawkins & Frass, 2005.
|
4.
|
Niat Berperilaku
|
N1
N2
N3
N4
|
1. Saya berencana untuk menjadi nasabah bank syariah.
2. Saya bermaksud menjadi nasabah bank syariah dalam waktu tiga bulan mendatang.
3. Sepertinya, bank syariah akan menjadi bank favorit saya.
4. Setelah mempertimbangkan untung dan ruginya, saya akan menjadi nasabah bank syariah.
|
|
|
Referensi: Ya-Yueh & Kwoting, 2004; Dawkins & Frass, 2005; So & Bolloju, 2005.
|
|
|
|
|
|
|
|
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Responden
Penelitian dilakukan terhadap 124 responden pengusaha kecil yang ada di daerah Bandung, 81 responden adalah pria dan sisanya adalah wanita. Karena survey dilakukan secara langsung dan dengan menggunakan pendekatan persuasif, maka tingkat pengembalian angket cukup tinggi, 82%. Alasan penolakan untuk terlibat dalam penelitian ini adalah: kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, takut keterlibatan mereka dalam penelitian ini akan membawa konsekuensi tertentu pada mereka, tidak merasa “percaya diri” untuk bisa terlibat dalam penelitian ini, dan tanpa alasan yang jelas.
Dilihat dari lamanya responden berbisnis, 1/3 responden (36,3%) sudah berbisnis selama kurang dari lima tahun. Sisanya, telah berbisnis lebih dari lima tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam berbisnis. Salah satu pengalaman yang mungkin telah mereka alami adalah: berhubungan dengan lembaga keuangan. Secara umum, responden sudah tahu apa fungsi lembaga perbankan, dan bagaimana cara mengakses layanan perbankan. Akan tetapi, begitu dihubungkan dengan bank syariah, banyak dari mereka yang belum paham tentang bank syariah.
Hal ini cukup mengherankan, sebab hanya sekitar 12,9% responden yang berpendidikan SD/SLTP. Lebih dari 70% berpendidikan SLTA atau Diploma. Artinya, terpaan informasi tentang bank syariah mungkin memang sangat minimalis terhadap responden yang secara universal memiliki pendidikan cukup tinggi. Dengan mudah mereka menyebut beberapa nama bank konvensional. Akan tetapi, begitu dihubungkan dengan bank syariah, pengetahuan mereka memang sangat minim. Bahkan, mereka tidak tahu dimana ada cabang bank syariah terdekat.
Dalam perspektif jumlah karyawan, hanya sebanyak 46 (=37,1%) responden yang bekerja dengan karyawan kurang dari lima orang. Karena 44 (=35,5%) responden memiliki karyawan sebanyak 5-10 orang; 17 (13,7%) memiliki 11-20 karyawan; dan 10 (8,1%) memiliki lebih dari 20 karyawan, maka dapat diprediksi bahwa responden minimal telah mempekerjakan karyawan sebanyak 46+(44X5)+(17X11)+(10X20)= 653 karyawan. Atau, tiap responden rata-rata memberikan lapangan kerja bagi 5,3 orang.
Uji Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan instrumen penelitian yang valid dan reliabel, setiap item yang ada pada sebuah variabel diukur validitas dan reliabilitasnya. Sebuah item pernyataan dikatakan valid bila memiliki nilai (terhadap korelasi total seluruh item dalam sebuah variabel) ≥ 0,30. Sebuah variabel dikatakan reliabel apabila variabel tersebut memiliki indeks Alpha ≥ 0,60.
Tabel 1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
No.
|
Variabel
|
Kode item
|
Korelasi
|
Alpha
|
1.
|
Sikap
|
S2
S3
S4
S5
|
0,5590
0,6822
0,7231
0,4492
|
0,7844
|
2.
|
Norma subjektif
|
NS1
NS2
NS3
NS4
|
0,3919
0,4568
0,5964
0,5616
|
0,7105
|
3.
|
Pengendalian perilaku
|
KP1
KP3
KP5
|
0,5359
0,4168
0,5033
|
0,6376
|
4.
|
Niat berperilaku
|
NI1
NI2
NI3
NI4
|
0,6135
0,5788
0,7440
0,7345
|
0,8352
|
Sumber: hasil olah data
Pada awalnya, peneliti mengintroduksi 18 item pernyataan. Secara agregat, ternyata ada tiga item pernyataan yang tidak valid sehingga item pernyataan tersebut harus dihilangkan untuk meningkatkan reliabilitas. Jadi ada 15 item pernyataan yang valid dan reliabel (lihat Tabel 1).
Untuk menghasilkan instrumen yang jauh lebih murni, dilakukan purifikasi terhadap variabel bebas, sebab variabel bebas terdiri dari tiga subvariabel (atau faktor), yaitu: sikap, norma subjektif, dan “pengendalian perilaku yang dirasakan”. Masing-masing item yang ada dalam setiap subvariabel bisa saja dipersepsikan secara berbeda oleh responden. Misal: item pernyataan yang digunakan untuk mengukur sikap (misal: item pernyataan berkode S2) bisa saja dipersepsikan oleh responden sebagai instrumen untuk mengukur variabel norma subjektif.
Karena jumlah responden adalah 124, maka faktor loading yang diperlukan agar signifikan adalah ≥ 0,50 (Hair et al., 1998: 112). Dengan teknik principal component analysis (PCA) dan rotasi varimax, dihasilkan delapan item pernyataan yang bisa menjelaskan 60,932% variasi variabel bebas (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Analisis Faktor
Variabel/Faktor
|
Kode Item
|
Loading Faktor
|
Sikap
|
S2
S3
S4
S5
|
0,668
0,806
0,800
0,756
|
Norma subjektif
|
NS3
NS4
|
0,871
0,858
|
Pengendalian perilaku
|
KP1
KP5
|
0,721
0,895
|
Total Variance Explained
|
60,932
|
Metode Ekstrasi
|
PCA
|
Metode Rotasi
|
Varimax
|
Sumber: hasil olah data
Item pernyataan berkode NS1 dan NS2 serta KP3 ternyata dipersepsikan berbeda oleh responden. Ketiganya tidak mampu menjalankan tugasnya untuk mengukur variabel norma subyektif dan pengendalian perilaku. Variabel “niat berperilaku” tidak perlu dipurifikasi karena variabel ini hanya terdiri dari satu subvariabel (atau disebut sebagai faktor) saja.
Hasil Korelasi dan Regresi Ganda
Setelah tahap purifikasi, dilakukan analisis korelasi dan regresi untuk memprediksi pola hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dan terikat; antara variabel sikap, norma subjektif, serta “pengendalian perilaku yang diinginkan” dan variabel niat berperilaku. Variabel sikap ternyata memiliki hubungan yang kuat (0,543) dan signifikan terhadap variabel niat.
Tabel 3. Korelasi, Rata-rata, dan Simpangan Baku
|
Mean
|
Stand. Dev.
|
Sikap
|
Norma Subjektif
|
Peng. Perilaku
|
Niat
|
Sikap
|
3,8258
|
0,479
|
1,000
|
0,336*
|
0,109
|
0,543*
|
Norma Subjektif
|
3,0887
|
0,741
|
|
1,000
|
0,259*
|
0,393*
|
Peng. Perilaku
|
3,4194
|
0,799
|
|
|
1,000
|
0,262*
|
Niat
|
3,4866
|
0,575
|
|
|
|
1,000
|
*korelasi signifikan pada tingkatan 0,01 (2-ekor)
Sumber: hasil olah data
Secara visual, pengaruh variabel bebas (sikap, norma subjektif, dan pengendalian perilaku yang dirasakan) terhadap variabel terikat (niat) dapat dilihat di Gambar 1.
Untuk menganalisis pola hubungan antar variabel, dapat digunakan teknik analisis jalur. Berdasarkan Gambar 1 dapat dihitung pengaruh langsung dan tidak langsung dari masing-masing variabel.
Tabel 4. Analisis Jalur
Variabel
|
Pengaruh pada Variabel Niat secara
|
Total
|
Langsung
|
Tidak Langsung
|
Sikap
|
0,285
|
0,026 + 0,007
|
0,318
|
Norma Subjektif
|
0,021
|
0,026 + 0,004
|
0,051
|
Peng. Perilaku
|
0,013
|
0,004 + 0,007
|
0,024
|
Total
|
0,393
|
Sumber: hasil olah data
Pembahasan
Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa niat untuk menjadi nasabah bank syariah secara nyata dipengaruhi oleh variabel sikap, norma subjektif, dan “pengendalian perilaku yang dirasakan” oleh konsumen. Variabel sikap memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam mempengaruhi niat konsumen untuk menjadi nasabah bank syariah. Secara total variabel sikap mempengaruhi (langsung dan tidak langsung) variabel niat sebesar 31,8%. Sedangkan variabel norma subjektif dan “pengendalian perilaku yang dirasakan”, masing-masing, hanya 5,1% dan 2,4%. Dengan demikian maka theory of planned behavior dapat diimplementasikan dalam industri perbankan syariah. Teori ini bisa menjadi alat bagi manajemen untuk memprediksi kuat tidaknya niat konsumen untuk menjadi nasabah bank syariah.
Sikap positif responden terhadap bank syariah ternyata merupakan prediktor yang kuat terhadap variabel niat berperilaku. Respon evaluatif terhadap konsep bank syariah yang bersifat positif mengindikasikan adanya persepsi bahwa bank syariah mampu memberikan value tertentu pada nasabahnya. Responden ternyata memiliki satu berkas keyakinan bahwa bank syariah adalah alternatif bank konvensional yang bisa memberikan manfaat bagi mereka.
Seperti yang dikatakan oleh East (1997), sikap yang dipelajari dari pengalaman-langsung biasanya lebih mampu memprediksi perilaku di masa yang akan datang daripada sikap yang dipelajari dari pengalaman-tidak-langsung. Sayangnya, situasi tersebut belum terjadi .pada responden Secara umum, responden menyatakan bahwa mereka tidak tahu di mana ada cabang bank syariah yang dekat dengan rumah/tempat kerja mereka. Terpaan informasi yang seharusnya di-deliver oleh manajemen bank syariah ternyata tidak terjadi. Secara umum, responden menyatakan bahwa mereka tidak begitu mengenal bank syariah yang ada disekitar mereka. Sikap positif responden terhadap bank syariah ternyata tidak diperkuat oleh experience bertransaksi/berhubungan dengan bank syariah. Situasi ini yang bisa menjelaskan mengapa perkembangan bank syariah di Indonesia tidak sepesat perkembangan bank syariah di negara lain. Sebagai institusi baru, bank syariah masih berada pada posisi marginal, belum menjadi arus utama arsitektur perbankan di Indonesia. Akibatnya, bank syariah hanya dikenal secara terbatas. Efeknya, sosialisasi dari produk-produk bank syariah juga terbatas, minimal dalam aktivitas word of mouth. Outcome-nya, bank syariah belum dipercaya oleh masyarakat sebagai pilihan utama. Inilah yang dinamakan dengan fenomena “double jeopardy” (Februadi, 2004).
Mengapa variabel sikap bisa menjadi prediktor terkuat bagi niat responden untuk menjadi nasabah bank syariah?
Responden adalah para pengusaha kecil. Sebaga seorang pengusaha, responden adalah seorang wirausahawan. Inti kewirausahaan adalah inovasi. Inovasi biasanya dihasilkan oleh mereka yang kreatif. Untuk menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, seorang wirausahawan harus memiliki sikap percaya diri (Suryana, 2003). Oleh karena itu, karena responden memiliki sikap bahwa bank syariah merupakan konsep yang positif, maka sikap tersebut lebih mendominasi perilaku responden (dibandingkan dengan variabel norma subjektif dan “pengendalian perilaku yang dirasakan”. Boleh saja responden memiliki keluarga/teman/kolega yang telah menjadi nasabah bank syariah, akan tetapi keputusan untuk menjadi nasabah tetaplah menjadi otonomi dari responden itu sendiri. Hal yang sama rupanya juga terjadi untuk variabel “pengendalian perilaku yang dirasakan”. Buktinya, pengaruh variabel tersebut hampir sama dengan pengaruh variabel norma subjektif terhadap variabel niat untuk menjadi nasabah bank syariah. Responden memiliki rasa percaya diri bahwa pengambilan keputusan yang dia ambil merupakan hasil pemikiran dan persepsi dia sendiri, bukan karena faktor lain. Pengambilan keputusan lebih bersumber pada motivasi yang datang dari dirinya sendiri, bukan karena faktor-faktor ekstrinsik.
Tekanan sosial untuk menjadi nasabah bank syariah ternyata tidak memiliki energi yang cukup untuk memprediksi niat responden untuk menjadi nasabah bank syariah. Terlebih lagi, menjadi nasabah sebuah bank tidak sama dengan membeli produk biasa. Perpindahan dari satu bank lain bukanlah pekerjaan yang mudah. Biaya perpindahan (switching costs) tersebut tidaklah murah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjadi nasabah bank syariah, secara rasional responden memerlukan sejumlah informasi yang lebih rinci dalam mengambil keputusan (untuk menjadi/tidak menjadi nasabah bank syariah). Informasi tersebut sebagian diperoleh dari lingkungan orang-orang dekat responden. Akan tetapi, bagi seorang wirausahawan, informasi eksternal tersebut masih tidak terlalu signifikan pengaruhnya dibandingkan dengan sikap atau keyakinan yang dimiliki oleh responden.
Sayangnya, informasi yang mereka peroleh tidaklah cukup. Akibatnya, keputusan yang rasional untuk mengadopsi (walaupun baru dalam bentuk niat) bank syariah tidak dengan mudah terjadi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan para responden. Secara umum, responden menyatakan bahwa mereka memiliki informasi yang sangat minim tentang bank syariah. Gap inilah yang harus ditutup oleh pihak manajemen bank syariah. Terpaan informasi yang intens tidak saja bisa mempengaruhi sikap responden secara langsung, tetapi secara tidak langsung juga mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitar responden. Dengan mekanisme word of mouth, orang-orang di sekitar responden akan mempengaruhi responden.
Selain minimnya sumber daya informasi, fakta empiris membuktikan bahwa cabang bank syariah juga sangat minim jumlahnya. Dilihat secara institusional, baru ada tiga bank syariah: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah (Darmawan, 2006b); sedangkan unit usaha syariah baru 19; dan BPR syariah sejumlah 92 buah. Total cabang bank syariah adalah: 189 kantor cabang pembantu, 9 unit pelayanan syariah, serta 133 kantor kas, dan 114 kantor operasional pusat dan cabang utama. Jumlah ini sangat sedikit, sebab jumlah jaringan bank konvensional sudah mencapai tujuh ribuan (Sugiarto, 2006).
Banyak responden yang sebenarnya ingin menjadi nasabah bank syariah, akan tetapi karena mereka tidak tahu dimana cabang bank syariah yang terdekat maka keinginan tersebut tidak terkabul. Kalaupun ada cabang bank syariah, lokasinya terlalu jauh atau sulit untuk diakses/tidak strategis. Terlebih lagi, kalau di dekat mereka ada cabang bank konvensional, maka bank syariah bukanlah pilihan pertama. Jadi, memperbanyak kantor cabang merupakan salah satu solusi untuk memperluas market share bank syariah.
Kondisi seperti itu menyebabkan variabel “pengendalian perilaku yang dirasakan oleh responden” menyebabkan mereka tidak memiliki niat yang kuat untuk menjadi nasabah bank syariah. Artinya, responden merasa mereka tidak mendapatkan kemudahan untuk menjadi nasabah bank syariah. Responden mempersepsikan bahwa: menjadi nasabah bank syariah memerlukan proses yang lebih sulit daripada menjadi nasabah bank konvensional. Untuk apa memilih yang sulit kalau ada produk lain yang lebih mudah diakses. Untuk apa memilih institusi keuangan yang belum mereka kenal produknya, belum pasti manfaatnya kalau di dekat mereka ada institusi keuangan yang lebih “familiar”. Akibatnya, variabel “pengendalian perilaku yang dirasakan” tidak bisa menjadi prediktor yang kuat bagi variabel niat menjadi nasabah bank syariah.
Oleh karena itu, prinsip office channeling (layanan syariah di gerai bank konvensional) harus segera diimplementasikan. Dengan prinsip ini, Bank Indonesia memberi ijin cabang bank konvensional di wilayah Bank Indonesia untuk membuka gerai syariah. Jadi, prinsip ini memungkinkan konsumen di kota kabupaten bisa mengakses bank syariah (Sugiarto, 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Secara umum, variabel sikap, norma subjektif, dan “pengendalian perilaku yang dirasakan” merupakan prediktor bagi variabel niat untuk menjadi nasabah bank syariah. Dengan demikian, theory of planned behavior bisa diberdayakan untuk mengetahui ada tidaknya keinginan konsumen menjadi nasabah bank syariah.
Karena responden dalam penelitian ini adalah para pengusaha kecil, maka karakteristik seorang wirausahawan juga mempengaruhi niat responden untuk menjadi nasabah bank syariah. Tipikal watak wirausahawan yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi menyebabkan variabel sikap merupakan prediktor terkuat untuk meramalkan niat menjadi nasabah bank syariah.
Saran
Walaupun penelitian ini telah berhasil membuktikan manfaat yang bisa dipetik dari implementasi theory of planned behavior dalam lingkungan pengusaha kecil, akan tetapi penelitian ini perlu direplikasi untuk mendapatkan informasi yang lebih sahih tentang anteseden niat untuk menjadi nasabah bank syariah. Bisa saja replikasi tersebut dilakukan untuk pengusaha kecil dalam industri yang sejenis. Misalnya: khusus untuk pengusaha foto copy; khusus untuk pengusaha rumah makan Padang; khusus untuk pengusaha konveksi, dll. Informasi yang didapat dari hasil penelitian tersebut bisa menjadi feedback untuk mengetahui mengapa konsumen yang memiliki sikap yang positif terhadap bank syariah tetapi belum tentu tentu mau menjadi nasabah bank syariah.
Selain itu, karena produk bank syariah pada dasarnya diperuntukkan untuk siapa saja, maka perlu juga dikembangkan penelitian terhadap mereka yang non-muslim. Sebab, di negara Singapura atau Malaysia, nasabah bank syariah tidak hanya warga muslim, keturunan etnis China juga menjadi nasabah bank syariah. Terlebih lagi, golongan non-muslim secara tradisional memiliki daya beli yang lebih tinggi.
Dengan cara-cara di atas, manajemen bank syariah memiliki kemampuan lebih dalam mengenal konsumennya. Moto konsumen sebagai mitra seharusnya diturunkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu, riset-riset konsumen lebih diintensifkan untuk mengetahui pasar mana yang paling potensial untuk dibidik terlebih dahulu. Apabila konsumen potensial sudah diidentifikasi, maka program pemasaran bisa direncanakan dan diimplementasikan.