Planned Behavior Ajzen dan Bank Syariah

MEMPREDIKSI PERILAKU DI BANK SYARIAH VIA PLANNED BEHAVIOR AJZEN

 

Untuk memprediksi perilaku – ketika seorang individu tidak memiliki kontrol kemauan diri sendiri secara  penuh – Ajzen (1987) mengajukan “theory of planned behavior”.  Menurut Ajzen (1988), perilaku seseorang tergantung pada niat berperilaku (behavioral intention) yang terdiri dari tiga komponen, yaitu:  sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control).   Variabel sikap dan norma subjektif ada dalam “theory of reasoned action”, sedangkan variabel ketiga muncul dalam “theory of planned behavior” (East, 1997).

Theory of planned behavior merupakan alat yang dapat digunakan untuk memprediksi perilaku individu ketika individu tersebut tidak memiliki kontrol kemauan sendiri secara penuh.  Artinya, individu tersebut memiliki halangan/hambatan sehingga perilakunya tidak bisa semaunya sendiri.  Misalnya, bisa jadi seorang mahasiswa ingin menjadi seorang wirausahawan, tetapi orang tua mahasiswa tersebut lebih suka anaknya menjadi pegawai negeri; atau masyarakat memandang rendah profesi seorang wirausahawan.

 

Sikap

Sikap adalah faktor pendahulu dari niat berperilaku.  Sifat merupakan suatu perasaan yang bersifat suka/tidak suka terhadap suatu objek/tindakan (Ajzen & Fishbein, 1980).  Menurut East (1997), sikap adalah sebuah respon evaluatif terhadap sebuah konsep. Sikap positif terhadap perilaku terjadi bila individu tersebut mempersepsikan bahwa akibat yang dilakukan oleh perilaku tersebut bersifat positif.  Sebaliknya, apabila individu memandang bahwa akibat dari suatu perilaku adalah suatu hal yang merugikan/negatif maka sikap negatif akan melekat pada individu tersebut.

Fishbein & Ajzen (dalam Refiana, 2002) berpendapat bahwa sikap seseorang terhadap perilaku tertentu didasarkan pada sekumpulan pasangan keyakinan (belief-evaluation).  Sikap merupakan fungsi perilaku, termasuk keyakinan perilaku (behavioral belief) seseorang dan evaluasi terhadap konsekuensinya.  Sikap yang dipelajari dari pengalaman-langsung biasanya lebih mampu memprediksi perilaku di masa yang akan datang daripada sikap yang dipelajari dari pengalaman-tidak-langsung (East, 1997). 

Oleh karena itu, agar masyarakat Indonesia mau menjadi nasabah bank syariah maka perlu “diatur” agar masyarakat mengenal konsep bank syariah dan merasakan manfaat yang didapat apabila mereka menjadi nasabah bank syariah. Sebab,  bank syariah merupakan sebuah institusi yang unggul dalam dua hal.  Pertama, konsep ‘bagi hasil’ bank syariah relatif memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan konsep bunga yang dianut oleh bank konvensional.  Kedua, karena produk investasi bank syariah terbatas dan harus memberi bagi hasil yang optimal kepada deposan, maka bank syariah harus mampu menyalurkan dana ke sektor riil. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu menyalurkan dananya ke sektor riil, bukan ke instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia).  Artinya, bank syariah lebih kompeten dalam menjalankan fungsi intermediary dibandingkan dengan bank konvensional.  Buktinya, financing to deposit ratio (FDR) rata-rata bank syariah mencapai 110%, sementara rata-rata FDR bank nasional hanya 60% (Darmawan, 2006b).

Dengan demikian, karena bank syariah merupakan konsep yang positif maka bisa diharapkan akan munculnya niat untuk menjadi nasabah bank syariah..

 

Norma Subjektif

Ajzen dan Fishbein dalam “theory of reasoned action” menyatakan bahwa norma subjektif adalah determinan dari niat/kehendak berperilaku.  Norma adalah suatu konvensi sosial yang mengatur kehidupan manusia. Norma subjektif adalah suatu fungsi keyakinan individu dalam hal menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu (Refiana, 2002). Untuk menyetujui/tidak menyetujui suatu perilaku, kondisi tersebut didasari oleh suatu keyakinan yang dinamakan dengan keyakinan normatif.  Dengan demikian, faktor lingkungan keluarga (ayah, ibu, saudara) merupakan orang yang dapat mempengaruhi tindakan individu.  Seorang individu akan melakukan/berperilaku tertentu apabila persepsi orang lain terhadap perilaku tersebut bersifat positif.  Artinya, orang lain mempersepsikan bahwa perilaku individu tersebut diperbolehkan/sebaiknya dilakukan. 

Dalam dunia yang semakin terintegrasi (karena kemajuan teknologi komunikasi), orang lain tersebut mungkin tidak hanya berasal dari lingkungan keluarga, tetapi juga para tokoh/orang-orang penting yang diidolakan oleh konsumen atau yang perkataan/perbuatannya merupakan patron perilaku konsumen.  Perilaku tokoh tersebut merupakan cetak biru bagi perilaku konsumen dalam memilih bank syariah sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana yang mereka miliki.

Norma subjektif merupakan persepsi yang bersifat individual tehadap tekanan sosial untuk melakukan/tidak melakukan perilaku tertentu.  Norma subjektif dapat ditentukan dan diukur sebagai suatu kumpulan keyakinan normatif mengenai kesetujuan/ketidaksetujuan acuan yang signifikan terhadap suatu perilaku (Refiana, 2002).  Jadi, apabila orang-orang yang ada disekitar konsumen memiliki secara normatif bisa menerima kehadiran bank syariah maka konsumen tersebut juga bisa menerima produk-produk bank syariah. 

 

Pengendalian Perilaku yang Dirasakan

“Pengendalian perilaku yang dirasakan” merupakan fungsi dari keyakinan pengendalian (control belief) dan pencapaian faktor pengendalian (access to the  control factor).   Yang termasuk faktor pengendalian adalah:  faktor internal (seperti:  keahlian, kemampuan, informasi, emosi) dan faktor eksternal (misal:  situasi/lingkungan).  “pengendalian perilaku yang dirasakan” mengindikasikan bahwa motivasi individu dipengaruhi oleh persepsi seberapa sulit perilaku “A” dapat dilakukan, termasuk didalamnya sampai dimana keberhasilan yang mungkin akan dicapai individu tersebut bila berperilaku “A” (Refiana, 2002).  Contoh riilnya:  seberapa sulit seorang konsumen untuk menjadi nasabah bank syariah; misal:  apakah prosedurnya berbelit-belit atau kantor cabangnya ada di dekat rumah/tempat usaha.  Selanjutnya, apabila konsumen tersebut sudah menjadi nasabah bank syariah apakah dia akan memperoleh “nilai tambah” yang lebih banyak apabila dibanding dengan menjadi nasabah bank konvensional?

Seperti yang diasumsikan Fishbein dan Ajzen (dalam Refiana, 2002) individu biasanya cukup rasional dan mampu menggunakan informasi yang mereka miliki secara sistematis.  Jadi, apabila individu merasa dia tidak memiliki sumber daya/kesempatan untuk melakukan sesuatu, maka individu tersebut tidak akan melakukan perilaku yang memerlukan sumber daya tersebut (bahkan dalam situasi dimana individu  memiliki sikap positif dan norma subyektif yang menyetujui perilaku tersebut).  Jadi, syarat utama untuk menjadi nasabah bank syariah adalah adanya surplus dana atau membutuhkan dana untuk menambah modal kerja usahanya.  Apakah bank syariah bisa membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan modal?

Studi yang dilakukan Bandura (dalam East, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy (sinonim dengan “pengendalian perilaku yang dirasakan” Ajzen) “concerned with judgements of how well one can execute  a course of action required to deal with prospective situations”.  “Pengendalian perilaku yang dirasakan” adalah prediktor yang nyata terhadap niat/kehendak berperilaku (East, 1997). 

Leave a comment