Kepuasan dan Loyalitas di Industri Pariwisata

Anteseden Kepuasan dan Loyalitas di Industri Pariwisata

Sri Raharso

Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

 

Latar Belakang

Pada banyak negara, pariwisata merupakan sektor yang diandalkan untuk memperoleh devisa, membuka kesempatan kerja, dan lapangan kerja baru.  Dapat menjadi alternatif mengatasi krisis ekonomi.  Contoh:  Thailand bangkit dari krisis ekonomi secara cepat melalui strategi lokomotif pembangunan pariwisata (Sutowo,  Media Indonesia 06/02/2001).

Sektor pariwisata memang dapat diandalkan.  World Trade Organization (WTO) memprediksi bahwa rata-rata pertumbuhan pariwisata dunia, selama kurun waktu 2000 – 2010,  akan mencapai 4,2%.  Dan menurut World Travel & Tourism Council (WTTC) juga memberikan gambaran bahwa pariwisata akan menjadi penggerak utama perekonomian abad ke-21.  WTTC memprediksi bahwa pariwisata akan menggerakkan mobilitas wisatawan sejumlah 850 juta orang ke seluruh dunia pada tahun 2005 (Christianto, Pikiran Rakyat 13/05/2001).

Oleh karena itu sudah selayaknya Indonesia yang kaya dengan obyek pariwisata mampu menggali potensi sektor ini.  Seperti yang dikatakan Rokhmin Dahuri, pariwisata bersama dengan sektor kelautan & perikanan, kehutanan, serta pertanian seharusnya menjadi “empat leading sector” menuju Indonesia baru.  Indonesia yang makmur (Kompas 25/11/2001).  Dengan perkataan lain, pada saat ini sektor pariwisata belum dikembangkan secara maksimal.  Lebih jauh lagi, industri pariwisata Indonesia dikatakan telah terpuruk.  Gagal. (Kompas, 08/02/2002).

Mengapa hal tersebut terjadi?  Jawabannya bisa jadi adalah:  karena diabaikannya faktor wisatawan.  Kepuasan wisatawan tidak terwujud.  Kalaupun ada komitmen manajemen untuk mengedepankan kebutuhan wisatawan, hal tersebut baru sebatas komitmen.  Akibatnya terjadi kesenjangan antara apa yang diinginkan wisatawan dengan apa yang diberikan oleh organisasi (Zeithaml, Parasuraman, & Berry, 1990).  Padahal wisatawan (atau pelanggan secara umum) adalah raison d’etre organisasi (Cespedes, 1995; Seybold, 2001).  Secara tegas Levitt – dalam Marketing Myopia – menyatakan bahwa  “Industri adalah suatu proses untuk memuaskan pelanggan”(dalam Kennedy, 1996).  Dan Peters & Waterman dalam best-seller-nya “In Search of Excellence” (1982) menyatakan bahwa organisasi yang unggul adalah organisasi yang “melayani”, yang memberikan kepuasan bagi pelanggan.

Di pihak lain, pelanggan pada saat ini sangat “demanding” dan dinamis.  Sementara batas-batas industri pariwisata semakin longgar (Grant, 1997).  Artinya, pesaing industri pariwisata semakin bertambah.  Dan untuk merespon situasi ini, jawabannya adalah “delivering superior customer value & satisfaction” (Kotler, 2000, Treacy & Wiersema dalam Martin, 1994).

Namun kepuasan pelanggan, dalam hal ini wisatawan, ternyata juga tidak cukup (Barlow & Maul, 2000; Reichheld, 1996; Bhote, 1996; Griffin, 1995).  Prahalad dan Hamel menyatakan bahwa setiap organisasi sudah selayaknya memfokuskan pada kesempatan untuk berkompetisi di masa yang akan datang (dalam Reichheld, 1996).  Caranya adalah dengan memperoleh pelanggan yang loyal (Seybold, 2001;  Hesket et. al., 1997; Bhote, 1996; Griffin, 1995).

Karena misi dan tugas organisasi adalah “memuaskan pelanggan”, dengan demikian apa yang diinginkan pelanggan harus selalu dideteksi  secara kontinyu. Sebab keinginan pelanggan sangat dinamis.   Value yang diberikan  organisasi harus selalu dilihat dari “kacamata pelanggan”.  Jadi, dimensi-dimensi yang membuat pelanggan puas harus diketahui oleh organisasi.  Sebab strategi bersaing organisasi akan diformulasikan berdasarkan informasi tersebut.

Hal di atas tentunya juga berlaku bagi Kebun  Raya Bogor (KRB), kebun raya pertama dan utama di Indonesia (Soeseno, 1982, Intisari No. 229/Agustus).  Terlebih lagi dalam situasi “kelangkaan sumber daya”, strategi tersebut harus diformulasikan secara presisi.  Dengan perkataan lain, evaluasi terhadap dimensi kepuasan pelanggan merupakan hal yang sangat kritis.  Tahap awal untuk menjadi organisasi yang memimpin pasar.  Selanjutnya, karena kepuasan hanyalah awal dari loyalitas (Oliver, 1997), maka evaluasi tahap kedua harus dilakukan.  Yaitu:  mengevaluasi apakah kepuasan tersebut mampu meningkatkan loyalitas pelanggan.  Membuat KRB menjadi tujuan utama wisatawan.

 Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mencari jawaban dari pernyataan di atas.  Pertama, dimensi apa yang membuat wisatawan menjadi puas.  Kedua, apakah kepuasan tersebut berpengaruh pada loyalitas terhadap KRB.  Sebab, berdasarkan pengamatan awal  dan studi pustaka, eksistensi KRB tidaklah steril dari masalah.  Dan adanya masalah, internal maupun eksternal, pasti akan berpengaruh pada “pemberian value” kepada wisatawan (Hesket et. al., 1997).

 

 

Kepuasan Pelanggan

Hasil evaluasi pascapembelian adalah kepuasan atau ketidakpuasan.  Oleh karena itu kepuasan dapat didefinisikan sebagai evaluasi pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi/melebihi harapan (Engel et.al., 1995, 210, jilid 2). Definisi ini didasari oleh model diskonfirmasi harapan dari Richard L. Oliver (Engel et.al., 210, jilid 2; Rust & Oliver, 1994).  Adanya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap suatu produk/jasa akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya (Kotler, 2000).  Apabila pelanggan puas, kemungkinan besar dia akan membeli produk/jasa yang sama.  Pelanggan yang puas juga cenderung akan memberikan referensi yang baik terhadap prospek(calon konsumen) yang dikenalnya.  Dan sebaliknya, pelanggan yang tidak puas akan mengembalikan produk, atau secara ekstrim akan mengajukan gugatan terhadap organisasi.  UU N0. 8/1999 tentang perlindungan konsumen (efektif sejak 20 April 2000) memungkinkan hal tersebut.    Akan tetapi yang paling berbahaya adalah, pelanggan “tidak” melakukan tindakan apapun kepada organisasi.  Secara diam-diam mereka menghukum organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain.  Organisasi yang mereka pandang akan memberikan kepuasan kepada mereka.  Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya.  Dan organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak puas (Kotler, 2000).

Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan strategi peningkatan kepuasan pelanggan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah selalu memonitor kepuasan pelanggan.  Untuk itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:  dengan mengukur secara langsung maupun tidak langsung (indirect).   Pengukuran secara langsung dilakukan dengan cara:   menggunakan skala untuk mengumpulkan berbagai variasi data, menanyakan kepada berbagai responden (mulai dari pertanyaan umum sampai khusus), serta mengumpulkan data dengan berbagai metoda (dari personal interviews sampai self-administered questionnaires) (Hoffman & Bateson, 1997:  273).  Selanjutnya, menurut Kotler (2000:  38), ada empat  buah “tools” yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Yaitu:  menggunakan sistem keluhan dan saran, ghost shopping, analisis pelanggan yang hilang, serta mengadakan survai kepuasan pelanggan.

 

Dimensi Kepuasan Pelanggan I:  Kualitas Jasa

Kualitas jasa diyakini para peneliti sebagai “condition sine quanon” bagi kepuasan pelanggan (Johnson  & Gustaffon, 2000; Oliver, 1997; Hoffman & Bateson, 1997;  Zeithaml & Bitner, 1996; Hill, 1996; Naumann & Giel, 1995; Dutka, 1995; Palmer, 1994; Edvardsson et. al., 1994;  Gale, 1994; Hesket, 1993; Zeithaml, Parasuraman, & Berry, 1990; Gronroos, 1990).

Seperti yang dikatakan oleh Berry (1995; juga Palmer, 1994; Gale, 1994), konsep kualitas seharusnya didefinisikan oleh pelanggan itu sendiri.  Kesesuaian dengn spesifikasi organisasi bukanlah kualitas.  Meningkatkan kesesuaian terhadap standar teknis memang penting, tetapi hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses-besar untuk membuat pelanggan puas dan bahagia (Gale, 1994).

Untuk mengukur kualitas jasa,  beberapa peneliti telah mengembangkan berbagai metoda.   Yang paling populer adalah SERVQUAL dari Zeithaml, Parasuraman, & Berry; lalu SERVPERF dari Cronin & Taylor; model dari Gronroos; model oleh Gummesson & Gronroos; dan model dari Johnston & Silvestro.

Model Servqual dibangun dari perbandingan dua faktor, yaitu: persepsi pelanggan atas jasa nyata yang mereka terima (perceived service) dengan jasa yang sesungguhnya diharapakan (expected service).  Bila kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dikatakan bermutu.  Sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan dikatakan tidak bermutu.  Dan dikatakan memuaskan apabila kenyataan sama dengan harapan.  Jadi service quality yang dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman, & Berry (1990) dapat didefinisikan sebagai:  kesenjangan antara kenyataan dengan harapan.

 

Dimensi Kepuasan Pelanggan II:  Harga

Seperti halnya kualitas jasa, harga merupakan faktor yang diyakini para peneliti mempengaruhi kepuasan pelanggan (Johnson & Gustafsson, 2000; Morgan, 1996; Zeithaml & Bitner, 1996; Hill, 1996; Dutka, 1995, Naumann & Giel, 1995).

            Yang dimaksud dengan harga adalah uang yang harus dibayarkan untuk mendapatkan hal memakai suatu produk.  Baik untuk menjadi miliknya (ownership) maupun hak untuk dapat menggunakan  secara terbatas (misal:  menyewa mobil).

            Umumnya, konsumen cenderung menggunakan harga sebagai sebuah indikator dari kualitas (Mowen, 1993:  93).  Harga adalah “serves as a signal of quality” (Hawkins, Best, & Coney, 1995; Schiffman & Kanuk, 1994). Dan ini akan terjadi bila: 1)  konsumen yakin bahwa harga mampu memprediksi kualitas; 2)  ketika kualitas yang konsumen ketahui/rasakan (real/perceived quality) berbeda-beda diantara para pesaing; 3) ketika konsumen sulit membuat keputusan tentang kualitas  secara obyektif, atau dengan menggunakan nama merek atau citra toko (Mowen, 1993:  263).

            Dan yang terpenting dari harga sebenarnya bukan harga itu sendiri (objektive price), akan tetapi harga subyektif. Yaitu harga yang dipersepsikan oleh konsumen.  Apabila konsumen mempersepsikan produk A harganya tinggi/mahal, maka hal ini akan berpengaruh positif  terhadap “perceived quality” dan “perceived sacrifice”.  Artinya, konsumen mungkin memandang produk A adalah produk berkualitas, oleh karena itu wajar bila memerlukan pengorbanan moneter yang lebih mahal.

            Karena harga mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas, dapat diartikan bahwa harga akan berpengaruh kepada kepuasan pelanggan.   Dalam hal ini pelanggan akan  membandingkan antara harga yang dibayarkan dengan kualitas yang mereka rasakan.  Lebih jauh lagi, bila harga dikombinasikan dengan pengorbanan non-moneter lainnya lalu dibandingkan dengan manfaat yang mereka terima maka hal tersebut akan membentuk suatu”value”.    Pada kualitas yang dipersepsikan sama, produk/jasa dengan harga lebih murah mempunyai value yang lebih tinggi (Zeithaml &Bitner, 1996).  Akibatnya, karena value yang diterima oleh pelanggan sesuai/melebihi apa yang mereka inginkan, maka pelanggan akan puas/sangat puas.

 

Dimensi Kepuasan Pelanggan III:  Citra Organisasi

            Konsumen akan membeli produk dari organisasi yang menawarkan customer delivered value yang tertinggi.  Sebab konsumen adalah value-maximizer.  Dan sumber dari customer value adalah produk itu sendiri, services, personnel, serta citra organisasi (Kotler, 2000:  15).  Citra dalam bahasa Ecclesiastes dikatakan sebagai “ …tidak pernah menyembunyikan kebenaran – sebaliknya kebenaran itu sendiri yang menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya ada “ (tn, Kompas 30/09/2001).  Sebab citra adalah “ The promise offered by the organization to the outside world must match reality” (Smythe et. al., 1992:  6). 

            Citra sendiri didefinisikan sebagai “The set of belief, ideas, and impressions a person holds regarding an object”.  Dan sikap serta tindakan kepada obyek tersebut sangat dikondisikan oleh citra obyek itu sendiri (Kotler, 2000:  553). Dan menurut Gronroos (1990:  170), citra perusahaan yang positif akan meningkatkan atau menutupi kekurangan pelayanan.  Sebaliknya, citra negatif akan memperburuk pelayanan yang dirasakan pelanggan.  Hal ini terjadi karena citra yang positif akan menjadi “buffer” terhadap pelayanan yang buruk (Zeithaml & Bitner, 1996:  115).

Dengan demikian, karena citra adalah realitas yang diandalkan konsumen sewaktu membuat pilihan-pilihan (Engel et.al., 1995:  256, jilid 2), maka citra organisasi akan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Ross, 1998;  Wahab et. al., 1997;  Seaton & Bennet, 1996;  Gartner, 1996;  Nauman & Giel, 1995; Dutka, 1995; Denton, 1995;  Davidoff & Davidoff, 1994;  Gronroos, 1990).

 

Loyalitas Pelanggan

            Menurut Barlow & Maul (2000:  12),  loyalitas lebih dari sekedar “attitude dan nice feelings”.  Loyalitas merupakan tipikal dari keterlibatan yang lebih banyak terhadap produk.  Oleh karena itu loyalitas adalah suatu behavior, berbeda dengan kepuasan yang lebih bersifat “attitude” (Oliver, 1997).  Oleh karena itu Oliver menyatakan bahwa loyalitas merupakan empat tahapan behavioral.  Dimulai dari loyalitas kognitif, afektif, konatif, dan loyalitas tindakan (Oliver, 1997:  392-394).Walaupun oleh para peneliti lain attitude juga disebut sebagai dimensi loyalitas, akan tetapi kecenderungan terbaru menyatakan aspek behavioral   lebih “mendapatkan tempat”.

            Dan menurut Oliver (1997:  392), “Customer loyalty is a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred product/service consistently in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior”.

            Mengenai penyebab dari loyalitas pelanggan, pustaka dalam bidang pemasaran belum secara jelas mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan pelanggan menjadi loyal (Kandampully & Suhartanto, 2000, 347).  Akan tetapi faktor kepuasan pelanggan diyakini banyak peneliti sebagai awal dari terciptanya loyalitas pelanggan (Kotler, 2000; Johnson & Gustafsson, 2000;Oliver, 1997; ,Hesket et.al., 1997; Hill, 1996; Naumann & Giel, 1995;  Griffin, 1995;  dll.)

            Selain kepuasan pelanggan, konsensus yang muncul diantara para peneliti  dan praktisi menyatakan bahwa kualitas jasa merupakan prasyarat dari loyalitas (Gremler & Brown, 1997 dalam Kandampully & Suhartanto, 2000;  Schneideer & Bowen, 1995;  Cronin & Taylor, 1992).  Demikian pula dengan faktor-faktor ekonomi dan psikologi, keduanya dapat mempengaruhi pelanggan untuk melakukan switching.  Prasyarat lainnya, oleh Bhote (1996) dikatakan bahwa citra organisasi akan mempengaruhi antusiasme pelanggan.  Dan antusiasme pelanggan merupakan kombinasi dari loyalitas, value, dan delight. 

 

Hubungan Kepuasan dengan Loyalitas Pelanggan

            Menurut Oliver (1997), dalam jangka panjang kepuasan akan berdampak pada terbentuknya loyalitas pelanggan.  Kepuasan adalah kunci untuk mengetahi respon konsumen yang merasa “favorable’’ dengan tawaran organisasi.  Dan kebutuhan nyata dari organisasi untuk memuaskan pelanggan adalah untuk “memperbesar” bisnis, untuk mendapatkan “repeat & referral business”.  Semua hal tersebut akan mengarahkan kepada kenaikan profitabilitas (Aaker, 1991; Barsky dalam Kandampully & Suhartanto, 2000:  347).

            Studi yang dilakukan oleh Cronin & Taylor di industri jasa, Mc Alexander di industri perawatan-kesehatan  menyatakatan bahwa kepuasan pelanggan dan kualitas jasa memiliki efek yang signifikan terhadap “future purchase intentions”.  Demikian pula dengan studi yang dilakukan Getty & Thomson menyatakan bahwa kepuasan menghasilkan efek pada “customer intentions to recommend”.  Mereka menyatakan bahwa “customers’ intentions to recommend” adalah fungsi dari persepsi pelanggan terhadap kepuasan dan kualitas jasa (dalam Kandampully & Suhartanto, 2000).

            Aaker (1991) menyatakan bahwa “perceived quality” mempengaruhi loyalitas.  Demikian pula dengan Hesket et. al., (dalam Martin, 1994) menyatakan bahwa “customer satisfaction  drives customer loyalty”.  Hal tersebut terlihat pada model “service-profit chain” yang mereka kembangkan.

            Selanjutnya, apabila ditinjau dari kontinum pemecahan masalah, lalu menghampiri titik ekstrim Pemecahan Masalah Diperluas (PMD) yang dikembangkan oleh Engel et. al. (1995, jilid 2), terlihat bahwa loyalitas adalah hasil dari kepuasan pelanggan yang memiliki keterlibatan tinggi pada suatu produk/jasa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment