SERVICE ENCOUNTER

SERVICE ENCOUNTER : MENINGKATKAN PERSEPSI KUALITAS JASA MELALUI PERILAKU KARYAWAN

Sri Raharso

Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga – Politeknik Negeri Bandung

Abstract

Link between contact employees with customer represent moment of truth influencing perception to quality of service. Therefore, experience of adoption a service product righteously become pleasant experience to customer. Favourable experience represent triggering of satisfaction. This article identify eleven employees behaviors which can improve perception of customer to quality of service, that is: adaptability, assurance, civility, customer orientation, empathy, recovery, reliability, responsiveness, spontaneity, tangibles, dan teamwork.

Keywords: moment of truth, service encounter, employess behaviors

Pendahuluan

Perpindahan yang dramatis dari paradigma transaksi menjadi paradigma hubungan relasional (relationship) telah terjadi di pemasaran jasa (Berry dalam Price et.al., 1995). Masalahnya, walaupun banyak perusahaan mengetahui arti penting dari pengembangan hubungan-relasional-yang-baik dengan pelanggan, akan tetapi tidak selalu jelas bagaimana cara untuk mengkreasi dan melanggengkan hubungan relasional tersebut (Price et. al., 1995; Mohr & Bitner, 1991). Jenis hubungan relasional seperti apa yang harus diimplementasikan oleh perusahaan serta pola hubungan relasional apa yang diinginkan oleh pelanggan juga menjadi masalah yang belum mendapatkan jawaban yang tegas (Barnes dalam Price et. al., 1995).

Padahal, pada waktu proses pengadopsian suatu produk (barang/jasa), terjadi interaksi antara pembeli dengan contact employees (disebut juga sebagai karyawan front-line; lihat Farrel et. al., 2001). Interaksi tersebut merupakan sebuah “moment of truth” yang mungkin bisa mempengaruhi persepsi terhadap kualitas jasa (Carlzon, 1989; Bitner et. al., 1994; Lovelock & Wright, 2002; Yoon et. al, 2004). Richard Normann (dalam Lovelock & Wright, 2002) membuat metafora moment of truth sebagai:

We could say that the perceived quality is realized at the moment of truth, when the service provider and the service customer confront one another in the arena. At that moment they are very much on their own …. It is the skill, motivation, and the tools employed by the firm’s representative and the expectations and behaviour of the client which together will create the service delivery process.

Periode waktu selama interaksi personal – antara pelanggan dan karyawan – dalam terminologi pemasaran jasa dikenal sebagai service encounter (Solomon et. al, 1985; Lovelock & Wright, 2002). Spesifik encounter antara pelanggan dengan penyedia jasa bisa menghasilkan outcome berupa kepuasan atau ketidakpuasan dari pelanggan/penyedia jasa atau kedua-duanya. Situasi tersebut biasanya diberi label critical incident (Lovelock & Wright, 2002).

Interaksi personal antara pelanggan dengan karyawan merupakan “jantung” dari hampir semua service experience (Guiry, 1992). Hal tersebut terjadi karena ketrampilan, motivasi, dan tools yang digunakan oleh karyawan serta ekspektasi maupun perilaku pelanggan secara bersama-sama akan meng-kreasi service delivery process (Lovelock & Wright, 2002). Konsekuensinya, sikap dan perilaku dari karyawan selama berinteraksi dengan pelanggan bisa mempengaruhi perceived service quality pelanggan serta kepuasan pelanggan (Carlzon, 1989; Pfeffer, 1994; Mittal & Lassar, 1996; Sparks & McColl-Kennedy, 1998; Lovelock & Wright, 2002; Yoon et. al, 2004).

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila riset dan praktek-pemasaran-jasa terkini memberi perhatian yang besar pada peran dari karyawan di service encounter (Yoon et. al, 2004). Karyawan memainkan peran penting di service encounter dalam meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Akibatnya, service encounter diyakini sebagai sebuah “senjata” untuk membawa organisasi agar tidak saja tetap survive, tetapi juga bertahan lama (Mittal & Lassar, 1996; Sparks & McColl-Kennedy, 1998; Laing & McKee, 2001). Terlebih lagi di era hiperkompetisi (D’Aveni, 1994) yang semakin turbulent, chaotic, dan menantang (Kanter dalam Hagan 1996).

Dengan perkataan lain, penelitian di bidang service encounter merupakan tantangan baru bagi para peneliti, sebab penelitian tentang kualitas jasa dan kepuasan yang ada pada saat ini lebih banyak dilihat dari perspektif pelanggan saja – bukan dari perspektif karyawan. Terlebih lagi dalam konteks industri jasa di Indonesia, belum ada kajian komprehensif yang meneliti variabel-variabel yang mampu memprediksi service encounter.

Service Encounter

Kualitas jasa adalah representasi dari penilaian pelanggan terhadap keseluruhan tingkatan jasa yang diberikan oleh perusahaan (Parasuraman et. al., 1988). Penilaian tersebut sering kali didasari oleh persepsi yang diformulasikan selama service encounter (Bitner et. al, 1990; Johnston, 1995).

Sikap karyawan kadang-kadang diargumentasikan mampu mempengaruhi kualitas jasa (Hartline & Ferrel, 1996). Tetapi, argumentasi tersebut terlihat mengakali logika utama bahwa “harus ada variabel mediator” diantara sikap karyawan dengan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa (Farrell et. al., 2001). Lebih spesifik lagi, secara logika bisa dipastikan bahwa evaluasi pelanggan terhadap kualitas jasa didasari oleh “apa yang dikerjakan oleh karyawan” (perilaku karyawan); tidak didasari oleh “apa yang dipikirkan dan dirasakan karyawan” (sikap karyawan). Sebagai contoh: perilaku karyawan dipengaruhi oleh kepuasan kerja karyawan (Bettencourt & Brown, 1997) dan moods di tempat kerja (Kelley & Hoffman, 1997). Perilaku-perilaku tersebut (sebagai bagian dari seorang service employee) dapat dipikirkan sebagai perilaku service quality implementation (SQI). Perilaku SQI adalah representasi dari perilaku yang berasosiasi dengan implementasi dari kebijakan pemberian kualitas jasa (Farrel et. al., 2001). Oleh karena itu perlu digali secara mendalam bagaimana perilaku SQI dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa.

Di masa lalu, kualitas jasa dikonsepsikan dan dioperasionalisasikan dalam terminologi value apa yang diinginkan oleh pelanggan di encounter (Parasuraman et. al., 1988). Misal: pelanggan mengevaluasi kualitas jasa dengan dimensi seperti concern, civility, listening, understanding, attentiveness, atau perceptiveness (Farrel et. al., 2001). Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara konsep kualitas jasa dengan perilaku SQI karyawan. Faktanya, inspeksi terhadap skala kualitas jasa memperlihatkan bahwa mayoritas dari item pernyataan yang didedikasikan untuk mengukur kualitas jasa ternyata berelasi dengan elemen interaksi manusia di service delivery (Bitner et. al., 1990). Contoh: item pernyataan yang berbunyi “employee of XYZ are polite” (Parasuraman et. al., 1988) secara jelas memperlihatkan sebuah proporsi yang besar terhadap human interaction-spesific content. Dengan demikian perlu dipikirkan sebuah konseptualisasi SQI yang memperhitungkan perilaku karyawan dan persepsi pelanggan secara simultan (Farrel et. al., 2001).

Menurut Bitner et. al. (1990; juga Parasuraman et. al., 1988), persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa didasari secara keseluruhan oleh perilaku SQI karyawan. Perilaku SQI karyawan merupakan cermin dari service delivery process, atau disebut oleh Gronroos (1984) sebagai kualitas fungsional. Sedangkan penilaian pelanggan terhadap kualitas jasa adalah representasi dari evaluasi service delivery process, atau technical outcome (Gronroos, 1984).

Dimensi Service Encounter

Daya adaptasi karyawan. Melayani pelanggan adalah memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka (Kotler, 2000). Karena pelanggan memiliki latar belakang yang tidak sama, maka kebutuhan dan keinginan pelanggan juga bervariasi. Tidak seperti di industri manufaktur, dimana standardisasi relatif lebih mudah diimplementasikan (Bitner et. al., 1994); di service encounter hal tersebut tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa peneliti dan praktisi menekankan arti penting dari daya fleksibilitas dan adaptasi karyawan. Perilaku karyawan yang adaptif dan fleksibel diharapkan mampu mengantisipasi perubahan kebutuhan dan permintaan pelanggan (Farrel et. al., 2001). Karyawan memerlukan kemampuan untuk mengenali kebutuhan pelanggan. Karyawan juga perlu memahami perlakuan yang mana tidak pantas, yaitu perilaku yang menghasilkan ketidakpuasan pelanggan (Bitner et. al., 1994; Bitner et. al., 1990).

Meskipun jasa yang diminta pelanggan terlihat sebagai jasa yang bersifat rutin, akan tetapi kebutuhan khusus pelanggan tetap perlu diperhatikan. Beradaptasi terhadap kebutuhan khusus pelanggan merupakan situasi yang kritis (Zeithaml & Bitner, 2000). Menurut Hartline dan Ferrel (1996), kemampuan beradaptasi dapat dilihat dalam kontinum konformitas total pada kebijakan perusahaan sampai dengan personalisasi jasa secara paripurna. Hasil penelitian membuktikan bahwa personalisasi mampu menghasilkan pelanggan yang benar-benar puas/delight (Kotler, 2000; Burns, et. al., 2000; Schneider, 1999; Bhote, 1996). Selanjutnya, seorang karyawan bisa menunjukkan tingkatan variasi dari daya adaptasi, tergantung pada situasi jasa yang diinginkan oleh pelanggan. Bagaimanapun juga, secara umum pelanggan menyukai hadirnya konformitas terhadap jasa yang mereka inginkan, bukan konformitas terhadap spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan. Apabila karyawan mampu menghadirkan layanan yang adaptif, maka pelanggan akan menyukai situasi tersebut. Hasilnya, evaluasi terhadap service delivery menjadi semakin baik (Bitner et. al., 1994; Bitner et. al., 1990; Hartline & Ferrell, 1996; Zeithaml & Bitner, 2000).

Assurance. Zero defects di industri manufaktur pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk memberikan jaminan kepada pelanggan bahwa mereka dijamin akan mendapat produk yang standar dari waktu ke waktu (Bitner et. al., 1994). Sebab, pelangan tidak mau mengambil resiko bahwa produk yang mereka beli tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Pelanggan membutuhkan kepastian. Maka, tidak mengherankan apabila banyak penelitian dan praktek bisnis yang ditujukan untuk meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa melalui pengembangan dimensi assurance (Cronin et. al., 2000; Parasuraman et. al., 1988). Akan tetapi, perspektif tersebut hanya memperhitungkan perasaan dari pelanggan saja, meniadakan perspektif perilaku dari service employees (Farrel et. al., 2001). Umumnya, pelanggan lebih suka menyimpan informasi selama proses layanan diberikan (Parasuraman et. al., 1985), jika hal tersebut akan memberikan rasa percaya diri (Parasuraman et. al., 1988). Karyawan yang tingkah lakunya memberikan rasa keterjaminan (misal: pelanggan dipastikan akan mendapatkan rice-cooker yang awet dan berdaya listrik rendah) akan meningkatkan perasaan aman (security) dari pelanggan dan meningkatkan persepsi pelanggan terhadap integritas dan kompetensi dari karyawan tersebut (Johnston, 1995). Jika pelanggan merasa dijamin dan tingkah laku karyawan terlihat reassuring, maka situasi tersebut akan meningkatkan favourable evaluations pelanggan terhadap kualitas jasa.

Civility. Riset konsumen memberikan bukti empiris bahwa perilaku yang sopan (civil behaviour) karyawan akan menghasilkan kualitas jasa yang semakin favourable dan peningkatan persepsi kepuasan pelanggan (Guiry, 1992; Johnston, 1995; Dabholkar et. al., 2000). Ketika perilaku karyawan: penuh perhatian, sopan, kooperatif, dan terlihat ingin sekali mendengarkan apa yang diucapkan pelanggan, maka situasi tersebut akan mengakibatkan peningkatan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Sebaliknya, apabila karyawan terlihat tidak tertarik (disinterested), maka persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa akan menurun (Guiry, 1992).

Customer orientation. Untuk meningkatkan kinerja organisasi, orientasi pelanggan merupakan salah satu cara yang banyak dipraktekkan. Paradigma ini menyoroti kebutuhan organisasi untuk mendukung karyawan agar menghilangkan semua tindakan yang bersifat mengorbankan (sacrifice) kebutuhan dan keinginan pelanggan (Saxe & Weitz, 1982). Dalam bahasa awam, hal tersebut dideskripsikan dalam terminologi “pelanggan adalah raja”. Dilihat dari perspektif resiprositas, apabila karyawan memberi dukungan pada kesejahteraan pelanggan maka pelanggan merasa memiliki obiligasi/hutang untuk membalas tindakan tersebut (Yoon et. al., 2004). Tindakan balasan pelanggan diwujudkan pada persepsi yang semakin tinggi terhadap kualitas jasa yang diberikan perusahaan (Kelley & Hoffman, 1997).

Recovery. Keluhan merupakan sebuah pertanda adanya ketidakpuasan. Apabila hal tersebut tidak ditindaklanjuti, pelanggan akan pindah ke pemasok dan/atau merek produk atau jasa yang lain, berpartisipasi dalam word of mouth (WoM) negatif, atau melakukan keluhan ke organisasi/pihak ketiga (Lam & Dale, 1999; Davidow, 2000). Akan tetapi yang paling berbahaya adalah: pelanggan tidak melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam mereka menghukum organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain, yaitu: organisasi yang mereka yakini akan memberikan kepuasan kepada mereka. Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya. Organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak puas (Kotler, 2000).

Studi yang dilakulan T.A.R.P (1986) membuktikan hal tersebut. Hanya 4% dari pelanggan yang tidak puas yang memberi umpan balik/mengeluh kepada organisasi. Sisanya, 96% “vote with their feet”, dan 91%-nya tidak akan kembali lagi ke organisasi. Selanjutnya, pelanggan yang tidak puas – secara tipikal – akan menceritakan pengalaman tersebut kepada delapan sampai sepuluh orang.

Tidak mengherankan bila keluhan pelanggan semakin mendapat perhatian dari setiap organisasi. Keluhan pelanggan bisa menghasilkan informasi bagi organisasi, dan secara khusus dapat digunakan alat pemonitor bagi efektivitas program customer service (Bennett, 1997).

Biaya untuk mendapatkan pelanggan baru lima kali lebih mahal daripada mempertahankan satu pelanggan yang sudah ada. Jadi, lebih baik memuaskan kembali pelanggan yang mengalami masalah/mengeluh, daripada mendapatkan pelanggan baru (Lapidus & Schibrowsky, 1994; Bateson, 1995). Selain itu, penelitian membuktikan bahwa perlakuan yang tepat pada pelanggan yang mengeluh akan membuat mereka jauh lebih puas (bahkan sampai tahap delight) dan loyal dibanding dengan pelanggan yang tidak mengeluh (Verma, 2003).

Oleh karena itu, apabila ada pelanggan yang mengeluh, situasi ini memberi kesempatan kepada organisasi untuk melakukan pemulihan jasa (service recovery). Barlow dan Maul (2000) menyatakan bahwa keluhan adalah hadiah dari pelanggan, bukan ancaman. Pada saat ini, pemulihan jasa telah menjadi komponen utama dari keseluruhan pemberian jasa (overall service delivery). Pelanggan yang mengeluh bisa berubah menjadi pelanggan yang loyal apabila organisasi menangani keluhan tersebut dengan baik (Cannie & Caplin, 1994; Verma, 2003; Lovelock, 2001).

Berbagai studi tersebut, singkatnya, menguji pengaruh dari strategi service recovery, perilaku-perilaku ketika pelanggan puas, dan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa ( Bitner et. al., 1990; Boshoff & Allen, 2000). Terlihat bahwa kemampuan karyawan dalam merespon keluhan pelanggan atau kegagalan layanan secara efektif dapat meningkatkan kualitas jasa (Lytle et. al., 1998, Bitner et. al., 1994). Isi dan bentuk dari respons karyawan pada sistem-layanan-kegagalan menyebabkan munculnya sebuah incident yang akan diingat oleh pelanggan, baik dalam bentuk incident yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Bitner et. al., 1994; Bitner et. al., 1990; Zeithaml & Bitner, 2000). Teorinya, ketika pelanggan mendapatkan pengalaman pengadopsian produk yang tidak menyenangkan, rasa percaya diri pelanggan justru meningkat (merasa “di atas angin”) sebaliknya perusahaan berada pada posisi “di bawah angin” (Lytle et. al., 1998). Akan tetapi, respons perusahaan mampu merestorasi rasa percaya diri pelanggan, atau mengurangi kegagalan (agar tidak terjadi lagi).

Spontanitas. Bitner et. al. (1990) menyatakan bahwa kejutan yang berikan kepada pelanggan akan meningkatkan customer retention dan persepsi terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh perusahaan. Riset empiris membuktikan bahwa “perlakuan khusus” dari karyawan merupakan sumber dari kepuasan dan kualitas jasa (Zeithaml & Bitner, 2000); misal: pelanggan diperlukan secara personal.

Personalisasi bisa menjadi delighter, karena perlakuan secara emosional ini memberikan perasaan kepada pelanggan bahwa mereka bukanlah sekedar angka-angka yang tidak memiliki identitas. Pelanggan senang diperlakukan secara manusiawi, bukan sebagai obyek mati (inanimate object), yang diproses dalam sebuah sistem layanan. Ketika pelanggan dilayani secara personal dengan fokus perusahaan pada “living and pulsating individuals”, maka pelanggan akan menjadi delight. Artinya, kebutuhan sosial dan esteem pelanggan sebagai manusia terpenuhi (Schneider & Bowen, 1999). Bagi pelanggan, perlakuan perusahaan yang memenuhi “personal interest”, serta memberi perhatian secara individual terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, menyebabkan pelanggan berada pada situasi “unforgettable experience” (Verma, 2003).

Ketika karyawan memperlakukan pelanggan jauh melebihi dari apa yang menjadi tanggung jawab mereka, misal: mengakomodasi permintaan pelanggan dengan mengusahakan customization, maka isyarat (gesture) seperti ini dapat diidentifikasi oleh pelanggan. Customization itu sendiri membuat pelanggan bahagia, sebab dia diperlakukan secara istimewa. Kebutuhan pribadinya dapat diakomodasi oleh perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anderson, Fornell, dan Rust (dalam Oliver, et. al., 1997) yang menyatakan bahwa customization akan menjadi faktor sangat penting dalam sektor jasa. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Akibatnya, pelanggan menjadi gembira sehingga tercipta delight. Prinsipnya “little favours win big hearts”.

Oleh karena itu, pengalaman di service encounter seharusnya menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Perlakuan spontan (yang menyenangkan) karyawan kepada pelanggan bisa menjadi tools untuk menghasilkan favourable experience tersebut. Tindakan spontan karyawan dapat disamakan dengan kampanye agar pelanggan memilih perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang bisa memenuhi kebutuhan mereka (Farrel et. al., 2001).

Teamwork. Bagi perusahaan jasa yang berkinerja tinggi, teamwork merupakan fokus untuk menghasilkan value yang tinggi bagi pelanggan (Zeithaml et. al., 1988). Menurut Berry et. al. (1990), “the physical demands of service work can be draining for service employees”. Selain itu, dukungan dari rekan kerja juga dapat memotivasi karyawan dan memungkinkan karyawan menghasilkan kinerja layanan yang tinggi (King & Garey, 1997; Yoon et. al., 2004). Kehadiran community spirit di tempat kerja merupakan sebuah penawar (antidote) yang powerful terhadap munculnya efek service burnout (Berry et. al., 1990). Baker dan Fesenmaier (1997) mengidentifikasi bahwa tingkatan teamwork yang tinggi akan menghasilkan ekspektasi yang tinggi dari pelanggan. Akan tetapi, walaupun teamwork memainkan peran yang penting bagi perusahaan, perusahaan harus tetap hati-hati untuk tidak melupakan pelanggan. Teamwork yang solid jangan sampai mengorbankan kebutuhan dan permintaan pelanggan. Sebab, bagaimanapun juga pelanggan adalah raison d’etre setiap kegiatan bisnis (Cespedes, 1995: 243; Seybold, et. al., 2001: 3).

Empati. Kemampuan berempati karyawan yang tinggi terhadap pelanggan menghasilkan persepsi kualitas jasa yang tinggi di mata pelanggan (Caruana et. al., 2000; Price et. al., 1995). Empati biasanya diperagakan oleh karyawan yang bersifat: approachable (Parasuraman et. al., 1985), caring (Johnston, 1995), understanding (Chandon dalam Farrell et. al., 2001), dan membuat usaha/tindakan untuk memahami kebutuhan pelanggan (Wels-Lips et. al., 1998). Scanlan dan McPhail (2000) mendefinisikan empati sebagai:

The mutual understanding between the service provider and the customer created by warm and friendly communication, attentiveness, and sincere interest in providing and satisying the custtomer’s spesific neeeds.

Reliability. Membahas studi mengenai kualitas jasa, ada satu variabel yang secara konsisten menjadi penentu utama dari persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa, yaitu: reliability (Parasuraman et. al., 1988; Zeithaml & Bitner, 2000). Karyawan harus memelihara konsistensi mereka dalam memberikan jasa kepada pelanggan, bersifat dependable, dan akurat pada waktu mengadakan dealing dengan pelanggan (Parasuraman et. al., 1985). Sebab, sifat intangibility dari produk jasa membuat pelanggan sulit untuk mengevaluasi jasa tersebut sebelum pelanggan mengalami pengalaman pengadopsian. Akibatnya, banyak ekspektasi dan keputusan awal yang dibuat oleh pelanggan didasari oleh janji-janji yang dibuat oleh perusahaan (Bitner, 1990; Scanlan dan McPhail, 2000) Dengan perkataan lain, apabila karyawan dapat memberikan layanan as reliably as possible dan doing things “right the first time” (Dabholkar dalam Farrell, 2001) maka pelanggan akan memiliki persepsi yang menyenangkan terhadap kualitas jasa. Scanlan dan McPhail, (2000) menyatakan bahwa reliability akan terbentu apabila karyawan mampu memberikan kualitas jasa yang dijanjikan secara: tepat waktu, kompeten, dan benar di first time. Dampaknya, pelanggan tersebut “membalas” komitmen yang diberikan oleh karyawan (karena memperhatikan kesejahteraan mereka) dengan persepsi yang menyenangkan terhadap kualitas jasa.

Responsiveness. Zeithaml & Bitner (2000) mendefinisikan responsiveness sebagai keinginan untuk menolong pelanggan dan menyediakan layanan secepat mungkin. Perilaku karyawan yang responsiveness, menurut hasil penelitian akan meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa (Cronin & Taylor, 1992; de Ruyter et. al., 1997). Apabila karyawan menolong pelanggan dan secara cepat memberikan layanan yang menyenangkan, maka persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa akan meningkat (Cronin et. al., 2000; Parasuraman et. al., 1988).

Tangibles. Variabel tangibles merupakan representasi dari aspek-aspek fisik dari service delivery, misal: estetika, kebersihan fasilitas, kerapihan karyawan dalam berpakaian, dll. (Parasuraman et. al., 1988; Parasuraman et. al., 1985; Johnston, 1995). Pada awalnya mungkin agak membingungkan untuk mengasosiasikan perilaku karyawan selama di service encounter dengan persepsi pelanggan terhadap variabel tangibles. Akan tetapi, karyawan tetap bertanggung jawab untuk memproduksi aspek-aspek fisik yang berkualitas tinggi pada pelanggan. Misal: karyawan dapat membuat komitmen untuk berpakaian secara pantas (sesuai norma bisnis); atau mempersembahkan fasilitas fisik yang bersih selama proses di service encounter. Tindakan tersebut akan mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh perusahaan (Farrell et. al., 2001). Jadi, karyawan bisa memberikan kontribusi pada peningkatan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa melalui variabel tangibles.

Kesimpulan

Dalam rangka memberikan persepsi kualitas jasa yang tinggi, peran karyawan (terutama karyawan front-liner) merupakan salah satu simpul yang harus dikelola dengan penuh kehati-hatian. Perilaku karyawan yang positif memungkinkan persepsi terhadap kualitas jasa di mata pelanggan akan meningkat. Perilaku karyawan yang dikonseptualisasikan mampu mempengaruhi kualitas jasa adalah: adaptability, assurance, civility, customer orientation, empathy, recovery, reliability, responsiveness, spontaneity, tangibles, dan teamwork.

Implikasinya, praktek pengelolaan sumber daya manusia dalam perusahaan juga harus disesuaikan. Proses rekrutmen, pelatihan, maupun pemberdayaan harus didedikasikan untuk menghasilkan sebelas perilaku diatas dan karyawan harus memahami variabel apa saja yang bisa menyebabkan pelanggan merasa tidak senang (unfavourable).

Tags:

Leave a comment